Rabu, 03 Juni 2009

CERPEN: PENANTIAN


PENANTIAN : Kado buat emak Oleh: Dani Sukma A. S. Menanti. Sendiri. Sunyi. Sepipun berserak. Kesendirian pun memuncak. Rindupun bergolak. Marah, marah, dan marah, tetapi pada siapa? *** Sekiranya penantian ini bukan pengharapan, maka aku takkan pernah menanti. Mungkin, sudah sejak kemarin, bahkan kemarin lalu aku akan berpaling, tetapi tersadar aku. Ya, tersadar akulah yang memilih jalan ini. Memilih suratan nasibku sendiri, memilih untuk tetap menanti suamiku kembali. Ini semua kulakukan bukan saja demi aku, tetapi juga demi anak-anakku. Sekiranya penantian ini bukan kewajiban, maka aku takkan pernah menanti. Mungkin hari ini, esok, atau lusa, aku pasti mengingkarinya, tetapi terpikirku. Ya, terpikirlah aku yang menyurati takdirku sendiri. Akulah yang mengabarkan pada ilahi; sebagai istri sudah tugaskulah mengabdi pada seorang suami. Ini semua aku lakukan bukan saja demi rumah tanggaku, tetapi juga demi syahadat yang melucur saat ijab kabulku sewaktu dulu. *** Menanti. Aku masih saja menanti. Sendiri. Aku masih tetap sendiri. Sunyi. Aku tetap saja terbalut sunyi. Sepi masih berserak. Kesendirian masih tetap memuncak. Marah, marah, dan kian marah, tetapi harus bagaimana? *** Kadang terpikir olehku, lari dari kenyataan, mengejar pertemuan untuk menepis penantian. Bukan hanya sekali, bahkan terlalu sering aku berpikir; di dunia ini tak ada yang tidak munkin selama kita mau memungkinkan yang tidak mungkin menjadi mungkin. Tetapi, kembali tersadarku. Tersadar aku, jangankan untuk berlari, sekedar melangkah saja aku tak berani. Sebenarnya ketakutanku beralasan. Aku takut meninggalkan anak-anakku, demi mengejar ambisi; merengkuh dekap hangat pelukan seorang suami. Orang pikir aku bodoh dan mau dibodoh-bodohi. Bodoh karena masih tetap setia menanti dan mau dibodoh-bodohi penantian itu sendiri. Mereka bilang bagaimana tidak bodoh, karena sudah bertahun suamiku tidak kembali, tetapi aku masih tetap setia menanti. Padahal sudah jelas-jelas penantian itu membodoh-bodohiku sendiri, membodohi kesepianku dengan sebuah harapan, seratus angan, dan sejuta impian. Tetapi biarlah. Orang bilang aku bodoh, aku bilang biarin. Orang bilang aku naïf, aku bilang biarin. Orang bilang aku aneh, aku bilang biarin1. Biarin sajalah, karena nyatanya aku pintar. Setidaknya aku pintar merajut sejuta impian menjadi seratus angan hingga menjadi sebuah harapan; penantianku berakhir dengan kebahagiaan. *** Menanti. Selalu saja menanti. Sendiri. Entah sampai kapan kusendiri. Sunyi. Masih tetapku menghamba sunyi. Sepi masih berserak. Kesendirian terasa jauh kian memuncak. Marah, marah, dan semakin marah, tetapi untuk apa? *** Demi kebahagiaan. Atas nama kesetiaan. Ya inilah adanya, dan aku sama sekali tidak mengada-ada, karena memang beginilah keadaannya. Keadaanlah yang mengharuskan aku menanti. Keadaan pula yang membuat aku bertahan hingga saat ini, dan keadaan inilah yang memberiku kekuatan untuk menata penantian demi penantian; Demi kebahagiaan dengan mengatas namakan kesetiaan. Aku yakin, dengan segenap-genapnya keyakinan. Kesetiaanku tidak akan sia-sia, sebab lelakiku; suami sekaligus ayah bagi anak-anakku, pasti akan kembali. Terserah orang mau berpikir aku ini bagaimana. Terserah orang mau berkata penantianku ini untuk apa. Terserah orang mau mengira tanggung jawab suamiku itu dimana. Toh, pikiran, perkataan, dan perkiraan mereka tidak akan pernah mengapa. Karena, mereka itu memang bukan siapa-siapa. 1 Terinspirasi dari puisi “Biarin” Karya Yudhistira Aku memang patut dikasihani. Tetapi, aku tidak butuh belas kasihan, sama sekali tidak! Bagiku, menangis untuk sekedar dikasihani bukanlah sebuah pilihan, bahkan bisa dikatakan perbuatan teramat sangat memalukan. Karena, itu aku tak akan pernah menangis. Walaupun kerinduanku pada suamiku, seperti air mata yang merindukan tangis, tetapi sekali lagi kukatakan; Aku tak akan pernah menangis. Dan aku akan selalu tegar, semangatku harus tetap berkobar, gairah hidup dan kehidupanku harus tetap terbakar. Karena, jika sampai aku rapuh, maka segala asa yang kusemai akan ikut luruh, terjatuh. Maka aku tak akan mampu menjadi ibu yang terbaik bagi anak-anakku. Sepeninggal ayahnya, mereka butuh panutan, dan untuk itulah aku ada. Untuk sementara, aku akan berusaha menjadi ayah sekaligus ibu bagi mereka, sampai tiba saatnya nanti, lelakiku; Suami sekaligus ayah bagi anak-anakku kembali di sisiku, mengubah penantian menjadi pertemuan, saat itulah kami larut dalam kebahagiaan. *** Menanti. Aku masih saja menanti. Tetapi penantianku bukan lagi sekedar penantian, karena telah dikaburkan kayakinan. Sendiri. Aku memang masih sendiri. Tetpai kesendirianku bukan lagi kesendirian, karena telah dibarengi kemandirian. Sunyi. Aku memang didera sunyi. Tetapi sunyiku tak bisa lagi dikatakan sunyi, karena dibalik kesunyianku terdengarnya riuhnya semangat untuk menjadi panutan. Sepi memang berserak, dan tetap akan kubiarkan berserak, agar dapat kujadikan bercak agar kesetiaanku tak pernah terkoyak. *** Suamiku, di manapun dirimu berada, yakin dan percaya, di sini aku akan tetap menjandakan diri2 demi menantimu kembali menjadi lelakiku; suami sekaligus ayah bagi anak-anakku. Karena, aku mencintaimu bukan hanya untuk hari kemarin, hari ini atau hari-hari yang akan datang, tetapi aku mencintaimu sebelum hari-hari dilahirkan dan sebelum waktu belajar merangkak ngakak di atas jaman. 2Kalimat “menjandakan diri” , saya petik dari materi perkuliahan telaah drama, yang merupakan buah pemikiran Drs. Antilan Purba, M. Pd. Anak-anakku, di manapun ayahmu berada, yatim-kan dirimu untuk sementara, dan ingatlah, jangan pernah menganak sungaikan mata air airmata, kecuali untuk bermunajat pada-Nya, karena Allah tak akan memberi cobaan di luar kuasa hamba-hamba-Nya. *** Anak-anakku, tetaplah menatap masa depan. Jangan takut menghadapi hidup dan kehidupan, yakinilah peradaban tak sepenuhnya dibangun di atas kebiadaban, sejujurnya kita hidup miskin bukan semata-mata karena ayahmu, tetapi juga karena bangsa kita telah di nina bobokan dengan pengangguran, dengan kemiskinan, dengan minimnya lapangan pekerjaan, hingga ayahmu harus merantau ke ranah seberang untuk mencari penghidupan. Biarkan saja untuk saat ini kita mengkristalkan airmata hingga ayahmu tiba, agar kemilaunya dapat mencercahkan semburat kebangkitan. Ya anakku, orang boleh bilang kita tak punya masa depan, tetapi buktikanlah kemiskinan bukanlah penghalang untuk meraih masa depan. Dan ingat pesan ibu, jangan pernah belajar dari kegagalan, karena gagal bukan untuk dipelajari tetapi untuk dihindari. Yang terbaik belajarlah dari mencontoh keberhasilan, karena itu akan memberikan semangat hidup yang lebih bagimu. Anak-anakku, kita harus belajar memaknai hidup. Bukan dengan sekedar aritmatika yang sederhana, karena hidup tak sesederhana yang kita pikirkan tetapi juga tak sesulit yang kita bayangkan. Belajarlah memaknai hidup dengan jarimatika, karena hidup serupa lima jari kita sendiri. Kelingkingmu adalah binary asa yang mewujud dalam gita cita-cita. Jari manismu serupa dengan mimpi-mimpi yang mesti tertunda dan masih membayang di pelupuk mata. Jari tengahmu adalah keniscayaan untuk menggapai mimpi-mimpimu dengan terpaan dan tempaan ujian yang sesungguhnya. Jari telunjukmu adalah penuntunmu untuk mengisyaratkan keniscayaan yakinmu akan segenap makrifat-Nya. Dan, Ibu jarimu adalah penantian yang telah menemu keberhasilannya. *** Menanti. Aku masih saja menanti. Tetapi penantianku bukan lagi sekedar penantian, sama sekali bukan! Karena berkat penantian ini aku hidup dengan keyakinan yang maha yakin, dengan sabar yang kian mengakar. Sendiri. Aku memang masih sendiri. Tetapi kesendirianku bukan lagi kesendirian, sama sekali bukan! Karena berkat kesendirian ini aku merasakan nikmatnya kemandirian, sebuah kebangkitan untuk berdiri sendiri dengan memapah anak-anakku menjalani terjalnya perjalanan kehidupan. Sunyi. Aku memang didera sunyi. Tetapi sunyiku tak bisa lagi dikatakan sunyi, sama sekali tidak!karena di balik kesunyianku terdengarnya gelegar semangat untuk selalu dan akan selalu menjadi panutan bagi anak-anakku. Sepi memang berserak, dan tetap akan kubiarkan berserak, agar dapat kujadikan bercak agar kesetiaanku tidak pernah terkoyak walau uji nasib seakan tak pernah terselesaikan, namun aku akan terus mencoba menyelesaikan setiap ujian dengan rumus kesetiaan di rulung hati yang paling dalam. *** Hadupku telah kuzatkan pada risalah keyakinan, telah kuinfakkan di atas sajadah kesetiaan, telah kusedekahkan untuk penantian. Ya, penantian yang hingga kini masih mengeja zikir-zikir kerinduanku, kerinduan anak-anakku pada imam kami. Ya, pada lelakiku; suami sekaligus ayah bagi anak-anakku. Tak ada lagi kemungkinan pada penantian ini, karena kemungkinan hanya menghabiskan penderitaan, hanya menajwidkan penyesalan. Jangan berpikir aku tak pernah memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi dalam penantian ini, karena telah berpuluh, beratus, bahkan beribu kali aku memikirkan apa yang seharusnya aku pikirkan, tetapi sekali lagi pikirankun hanya dibayangi penantian itu sendiri. Maka dari itu, aku telah mengambil jalan pintas untuk menjadikan penantian ini sebagai jalan penghidupan, kelak jika lelakiku; suami sekaligus ayah bagi anak-anakku telah kembali maka jalan penghidupan ini akan kami susuri sejauh mungkin, agar jejak-jejak pertemuan diantara kami mengalahkan jumlah jejak penantian yang sempat kujalani. Aku tak pernah meragu, jika penantian ini akan bermuara pada pertemuan, suatu ketika nantinya. Tetapi, untuk saat ini, aku mesti menjalani kehidupan dengan ringkih kaki penantian. Suka atau tidak, aku harus menyukainya karena rasa suka tidak harus diawali rasa cinta, sebab aku menyukai perjalanan yang kujalani saat ini karena awalnya aku membencinya. Ya, semula aku membenci penantian, tetapi pada akhirnya aku mulai mencintai penantian ini, bahkan teramat sangat mencintainya. Karena penantian ini telah mengajarkan makna cinta. Benar adanya cinta tak harus dikatakan tetapi, mesti dibuktikan, dan lelakiku; suami sekaligus ayah bagi anak-anakku, bertahun ini tak pernah lagi mengatakan cinta pada kami, tetapi dia telah membuktikan cintanya dengan berjuang untuk mencari penghidupan bagi kami. Jika memang cinta yang memisahkan kami, maka cinta pulalah yang akan menyatukan kami, karena itulah aku tak lagi menyesali kehidupan ini. Tak lagi menyesali penantian ini, aku menemukan perasaan lain yang mungkin selama ini tak terpikirkan. Ya, perasaan “makna cinta itu sendiri”. Karena, setelah penantian ini menjamah setiap sendi hari-hariku, baru aku mengerti; Cinta bukanlah bersumber dari apa yang kita pikirkan, tetapi bersumber dari apa yang kita rasakan dan kita dapatkan dari pembuktian. Dan, lelakiku; Suami sekaligus ayah bagi anak-anakku, telah menanamkan perasaan itu sebelum dan sesudah ia pergi meninggalkanku. Sebelum dia pergi, telah dibuktikan perasaan cintanya dengan menaburkan benih-benih ke rahimku dan mewujud dalam anak-anak kami, buah cinta kami, dan setelah dia pergi, masih tetap kurasakan cintanya lewat penantian ini. Penantian yang membuktikan bahwa kepergiannya adalah bukti betapa besar cintanya kepada kami, karena dia pergi demi penghidupan kami. Sungguh, aku bangga memiliki suami yang mampu mengajarkan makna lain dari penantian. *** Menanti. Sendiri. Sunyi. Sepi pun berserak. Kesendirian pun memuncak. Rindupun bergolak, menggelegak! Marah, marah dan marah, tetapi untuk apa lagi? Laut Dendang, 03 Desember 2008

logo KOMPAK

logo KOMPAK

Serambi KOMPAK

SEKILAS TENTANG KOMUNITAS PENULIS ANAK KAMPUS (KOMPAK) A. Sejarah Singkat Kelahiran KOMPAK Pada awalnya salah seorang aktivis lembaga kampus yaitu Dani Sukma Agus Setiawan (mahasiswa UNIMED) mempunyai gagasan untuk membentuk sebuah wadah intrakampus yang berkonsentrasi penuh pada ranah kepenulisan. Gagasan tersebut mendapat sambutan hangat dari Rudi Hartono Saragih (mahasiswa Universitas Negeri Medan), Sri Rizki Handayani dan Budianto (mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara). Karena wadah ini merupakan kumpulan dari beberapa kampus, maka keempat pemrakarsa sepakat memberikan nama KOMPAK (Komunitas Penulis Anak Kampus) pada wadah tersebut. Keempat pemrakarsa juga sepakat member nama pada tim mereka dengan sebutan Catur Karya. Kata “catur” berarti empat, sedangkan “karya” merupakan mencipta atau menghasilkan sesuatu. Jadi catur karya bermankna empat orang yang mencipta atau menghasilkan sesuatu. Catur karya bekerja sama dan sama-sama bekerja menyatukan gagasan-gagasan selektifitas. Setelah melalui musyawarah panjang berdasarkan pemikiran-pemikiran dari catur karya, maka Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) dideklarasikan atau resmi dibentuk pada tanggal 23 Desember 2008 bertepatan tanggal di gedung Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Kronologis Kelahiran KOMPAK Dilihat dari segi kronologis sejarah kelahiran KOMPAK, tidak terlepas dari tuntutan menumbuhkembangkan aspek keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Menumbuhkembangkan budaya menulis merupakan aspek yang seharusnya melekat dalam diri mahasiswa. Namun dilematisnya sering sekali budaya menulis hanya sebagai rutinitas memburu gelar akademik semata. Dengan kata lain wabah menulis yang menjangkiti paradigma berpikir seorang mahasiswa hanya demam S.Pd (sarjana Pendidikan) yang begitu kronis untuk diobati. Bukan bermaksud menaifkan gelar, tetapi alangkah baiknya jika gelar itu ditunjang dengan keterampilan menulis. Untuk mampu menulis mahasiswa harus sering menyimak informasi, membaca beberapa referensi dan bertukar fikiran dengan orang lain. Artinya dengan menulis seorang mahasiswa akan berpengetahuan luas dan wajib bagi mahasiswa untuk meningkatkan wawasannya. Oleh karena itulah catur karya termotivasi untuk membentuk wadah kepenulisan guna menumbuhkembangkan budaya menulis. Jadi sebagai mahasiswa kita harus mencatat sejarah. Karena, sejarah tidak akan pernah mencatat dirinya sendiri jika kita tidak pernah mencatatnya. B. Azas, Sifat, dan Tujuan Umum a. Azas Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) berasaskan Pancasila b. Sifat KOMPAK adalah organisasi kemahasiswaan yang bersifat independen, ilmiah serta professional yang berorientasi pada kemajuan, keahlian dan peningkatan potensi penulisan. c. Tujuan KOMPAK bertujuan untuk melahirkan profesionalitas dan karakter penulis yang handal, memiliki dedikasi yang tinggi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dari aspek kepenulisan serta untuk memasyarakatkan karya melalui media massa. C. Visi dan Misi KOMPAK a. Visi Pengembangan sastra Indonesia dalam pembangunan bangsa. b. Misi 1. Mempercepat silaturrahmi antar pelaku seni 2. Mengoptimalkan pola berpikir, berperilaku dan berbudaya sastra melalui pelatihan 3. Memaksimalkan pengiriman karya ke media massa secara lebih aktif 4. Mengaplikasikan karya dalam bentuk seni pertunjukan 5. Menerbitkan buku sastra D. Kepemimpinan dan Keanggotaan KOMPAK a. Kepemimpinan 1. Diangkat melalui forum permusyawaratan resmi untuk masa jabatan tertentu 2. Bersifat demokratis dan religious serta memiliki loyalitas dan dedikasi atas tugas dan tanggung jawab b. Keanggotaan 1. Terdiri dari mahasiswa yang memiliki visi dan misi yang sama dengan KOMPAK 2. Diatur dengan system administrasi tertentu 3. Masa aktif keanggotaan 2 tahun setelah selesai studi 4. Pelatihan dan pengembangan anggota merupakan sasaran dan prioritas utama aktivitas KOMPAK E. Pengambilan Keputusan 1. Keputusan hanya dapat dilakukan melalui musyawarah resmi 2. Keputusan yang menyangkut teknis operasional dan hal-hal yang insidentil dapat diambil oleh unsure pimpinan tertentu. F. Struktur Organisasi KOMPAK Struktur organisasi KOMPAK terdiri atas Penasehat, Pembina, Ketua Umum, wakil Ketua, Sekretaris Umum, Wakil Sekretaris, Bendahara dan beberapa Koordinator.