Minggu, 20 Desember 2009



“UNTAIAN MUTIARA YANG TERLEPAS”

Oleh: Wahyu Wiji Astuti

Sore itu, selepas shalat Ashar, Ayah memanggil Muti. Ada yang ingin disampaikannya kepada anak gadis kesayangannya itu. Sudah lama sekali ia ingin menyampaikan hal itu. Tapi Muti selalu saja menghindar ketika ia ingin membicarakannya. Istrinya yang sejak siang tadi pergi ke rumah anak pertamanya belum juga pulang. Muti datang membawa secangkir teh hangat, lalu duduk di depan Ayahnya. Wajahnya manis, airmukanya sendu. Tak berlama-lama Ayah membuka pembicaraan.

“Nak, kau tak bisa menunggu terlalu lama. Sejak kau tamat dari sekolah, Ayahmu ini sudah ditanyai soal kau. Maksud Ayah, ada yang ingin melamarmu. Tapi Ayah tak ingin menjodohkan kau dengan orang yang bukan pilihanmu sendiri, lagipula ketika itu kau masih terlalu muda, Ayah juga ingin kau menjadi seorang sarjana baru menikah.” Ayah memadamkan sisa api rokok yang baru terbakar separuhnya. Lalu dia melanjutkan ucapannya sementara Muti, anak gadisnya hanya tertunduk mendengarkan kata-kata Ayahnya. Sudah biasa Ayah menasehatinya perihal pendamping hidup, ia hanya mendengarkan dengan patuh. Lalu Ayah melanjutkan ucapannya.

“Ayah senang jika kau telah menemukan pria pilihanmu sendiri. Tapi setiap kali Ayah membicarakan pernikahan, kau selalu menundanya dengan mengatakan ingin membahagiakan Ibu dan Ayahmu. Asalkan kau tahu, anakku, Ayah dan Ibumu sekarang bahagia sekali karena kau sudah lulus jadi sarjana, dan cita-citamu menjadi seorang pendidik pun sudah tercapai. Bukankah begitu, Muti?”

“Ya, Ayah…”

“Nah, kalau begitu bukankah sudah saatnya kau mewujudkan cita-cita Ayah pula, yang sejak dulu Ayah sampaikan kepadamu? Ketika selesai S1 kau meminta Ayah menunda cita-cita Ayah dengan menguliahkanmu S2, dan sebentar lagi kau wisuda. Lantas mengapa kau menundanya lagi?”

“Maafkan Muti, Ayah, tapi Muti ingin melanjutkan S3.”

“Muti, Ayah senang kau memiliki cita-cita yang tinggi, Ayah tidak pernah melarangmu melanjutkan sekolah. Tapi bukankah kuliah bisa kau jalani setelah menikah? Nak, Ayah tahu itu bukan satu-satunya alasanmu menolak pernikahan. Kau ingin menunggu Wisnu kan?” Ayah memandangi Mutiara seakan mencari kejujuran di bola mata anak gadisnya. Namun Muti semakin menunduk di bawah sorot tajam Ayah.

“Kau sudah menunggunya terlalu lama, apa yang membuatmu begitu menginginkannya menjadi suamimu? Ayah bukannya ingin memaksakan kehendak Ayah, tapi Ayah ingin kau mendapatkan yang terbaik. Jika saja yang kau tunggu itu adalah pria yang tepat, Ayah mungkin mengizinkanmu.”

“Wisnu yang terbaik buat Muti, Yah…. Dulu Ayah menyetujui hubungan kami, tapi kenapa sekarang Ayah….” Desahnya tanpa meneruskan kata.

“Memang dia berasal dari keluarga yang baik dan berada, tidak seperti kita yang hanya hidup sebatas cukup. Tapi Ayah tak suka, kuliahnya S1 saja tak selesai-selesai. Untuk menanggungjawabi dirinya sendiri saja dia tak bisa, bagaimana dia bisa menanggungjawabi orang lain? Kau itu anak perempuan Ayah satu-satunya. Kedua Abangmu telah menikah. Ayah tidak ingin kau salah pilih.”

“Muti mencintai Wisnu. Ayah tahu kan, kami sudah berpacaran sejak kelas 2 SMA hingga sekarang. Kami saling mencintai.”

“Tidak, nak. Ayah merasa dia tak benar-benar mencintaimu. Dia tak pernah datang ke rumah sakit menjengukmu ketika kau sakit waktu itu, padahal waktu itu kau sakit hingga hampir tiga minggu. Lalu mengapa dia tak pernah membahagiakanmu? Hanya masalah, masalah dan kesedihan yang dia limpahkan padamu. Orangtua mana yang rela menyerahkan anaknya pada lelaki seperti itu? Ayah ingin kau menikah dengan Rahmat, dia lebih pantas untukmu. Kau pertimbangkan kata-kata Ayah.”

“Tapi, Wisnu….”

“Bilang padanya, jika dia benar-benar mencintaimu, datanglah bersama orangtuanya sebelum kau wisuda. Jika tidak, Ayah akan menjodohkanmu dengan Rahmat.”

Ultimatum ayahnya terasa amat menyesakkan. Kali ini ia tahu ayah tak main-main, sebab telah lama ayah bersabar dengan semua penantian dan harapan yang tak jua bertepi.

***

Muti tengah termenung di dalam kamarnya ketika Ibu masuk dan sapaannya membuyarkan lamunannya sejenak.

“Belum tidur, nduk?”

“Belum, Bu.”

Suasana sejenak hening. Ibu mendekati Muti yang sedang duduk di meja belajarnya sembari memandangi foto wisuda sarjananya tempo hari. Dibelainya rambut anak gadisnya, lantas bertanya lagi.

“Kenapa? Dari tadi kamu memandangi foto itu, tapi wajahmu sedih. Ada apa?”

“Muti bingung, Bu”

“Bingung kenapa?”

“Tadi sore Ayah mengatakan langsung padaku akan menjodohkan aku dengan Rahmat jika keluarga Wisnu tidak datang sebelum aku wisuda. Ibu tahu kan, tak sampai dua bulan lagi aku wisuda S2. Bagaimana caranya aku mengatakan hal ini pada Wisnu? Tidak pantas rasanya jika aku meminta pada Wisnu untuk meminangku, aku tak bisa mengatakan hal itu padanya. Lagipula aku khawatir dia tak bisa melakukannya. Kenapa Ayah begitu tega memberikan ultimatum seperti itu padaku.”

“Muti, Ayahmu hanya menginginkan yang terbaik untukmu. Sudah terlalu lama ayah menunggu. Ia ingin sekali melihatmu menikah. Agar ada pria yang menjagamu, menanggungjawabimu. Akan sampai kapan kami bisa menjagamu, anakku. Kau tahu kini semakin senja usia orangtuamu. Tidakkah terbayangkan olehmu betapa kecewanya kami jika Tuhan menjemput sebelum kami menyaksikanmu hidup bahagia bersama pria yang halal bagimu?”

“Kenapa Ibu berkata seperti itu?”

“Ya, lagipula sudah pantas usiamu untuk menikah.”

“Tapi Bu, Wisnu tidak bisa menikah sebelum dia menamatkan S1 nya.”

“Itulah yang Ibu fikirkan. Kalian tamat sekolah bersama-sama, tapi dua tahun dia menyia-nyiakan masa kuliahnya. Kini jenjang pendidikan kalian menjadi tak setingkat. Apa kau tak pernah mempertimbangkan hal itu?”

“Bu, aku tidak peduli akan hal itu. Aku mencintainya bukan karena apa-apa, yang ku tahu aku mencintainya karena aku mencintainya. Dan aku akan menerima Wisnu apa adanya.”

“Nduk, begitu besar rasa cintamu padanya, tapi apa kau yakin Wisnu juga mencintaimu sebesar rasa cintamu padanya?”

“Ya, tentu saja, Bu. Aku tahu dia sangat mencintaiku.”

“Jika begitu, kau sudah tahu jawabannya.”

Muti terdiam sejenak, lalu tersungging senyum di bibirnya. Di tatapnya mata Ibu penuh kasih. Sesaat kemudian dipeluknya Ibunya itu.

“Terima kasih, Bu.”

Malam itu Muti tertidur pulas, sudah disusunnya kata-kata yang tepat untuk membicarakan masalah ini pada Wisnu. Sungguh ia pun sebenarnya tak sabar untuk berumah tangga, apalagi usianya yang sudah matang bagi seorang wanita untuk menikah. Namun ia masih harus bersabar menunggu kekasihnya itu siap secara lahir bathin, siap secara moril dan materiil untuk menjadi seorang suami yang bertanggung jawab.

***

“Bagaimana?”

“Hhh…”

“Kenapa? Mama dan Papa tidak setuju?”

“Bukan, kamu tahu kan, sejak dulu Mama dan Papaku sangat sayang padamu. Betapa mereka mendambakanmu menjadi pendampingku. Bahkan sudah lama mereka mempersiapkan biaya untuk lamaranmu, juga untuk biaya pernikahan kita.”

“Lalu?”

“Aku, masalahnya adalah aku. Aku masih belum mampu menjadi suami yang bertanggung jawab. Orangtuaku tidak mengizinkan aku menikah sebelum tamat kuliah dan memiliki pekerjaan tetap.”

“Tapi Ayah tak memaksa kita menikah, hanya saja Ayah menginginkan kamu beserta orangtuamu datang ke rumah sebelum wisuda S2 ku.”

“Sama saja, sayang! Itulah maksud ayahmu!”

“Jadi?”

“Hhhh…”

“Kenapa lagi?”

“Apa kamu mencintai pria yang dijodohkan ayahmu?”

“Tidak. Aku hanya mencintaimu! Tak ada yang lain!”

“Tidakkah kamu berfikir, dia lebih baik daripada aku. Dia pria dewasa, tampan, sudah mapan, juga berpendidikan tinggi. Sangat sepadan untukmu. Kamu tidak akan kekurangan apapun jika bersuamikan dia.”

“Sudahlah, jangan berkata lagi. Kau pasti mengerti benar perasaanku padamu. Semua itu sudah tidak bisa ditawar lagi!”

“Tapi ini soal kehidupan! Kebahagiaanmu!”

“Aku mencintaimu! Aku menginginkanmu yang menjadi suamiku. Itu saja!”

“Sayang, sebenarnya ada rasa rendah diri di dalam hatiku. Kamu sebentar lagi bergelar Magister, sementara aku belum lagi menjadi sarjana. Aku minder sebagai seorang lelaki.”

“Astaghfirullah…, sungguh aku tidak mempermasalahkan itu. Berjanjilah tidak akan berkata seperti itu lagi. Sekali lagi aku katakan, bahwa aku hanya menginginkanmu!”

“Baiklah, akan kucoba membicarakannya lagi dengan orangtuaku. Aku akan datang bersama orangtuaku memohon pada ayahmu untuk bersedia menungguku satu tahun lagi sampai aku meraih sarjanaku.”

“Kapan?”

“Minggu depan. Aku pasti datang.”

***

Sedari tadi Muti berjalan mondar-mandir dengan wajah gelisah. Sesekali memencet handphone dan menaruhnya di telinga, berulang kali. Kegelisahannya terlukis di lekuk wajah dan sorot matanya, walaupun telah dibubuhi bedak dan meke up. Dia tengah menunggu tamu penting, hari ini akan menjadi hari yang bersejarah baginya, kebahagiaan layaknya yang dirasakan setiap wanita ketika dipersunting oleh seorang pria. Entah sudah berapa kali ia memandang ke luar jendela kamarnya. Menunggu orang yang begitu dinantikannya itu. Ya, malam ini akan dilaksanakan akad nikahnya.

Berkali-kali diliriknya jam dinding, sudah jam setengah sembilan malam. Akad nikah akan berlangsung jam sembilan. Setengah jam lagi. Tapi sungguh bukan itu yang membuat jantungnya berdebar-debar malam ini, dan bukan itu pula yang dinantikannya. Tapi ia tengah menunggu kekasihnya yang akan menjemputnya malam ini lewat jendela.

Tas yang berisi beberapa helai pakaian dan keperluan seadanya pun menjadi saksi atas aksi yang telah direncanakannya ini. Dua minggu yang lalu sudah berlangsung upacara pelantikan wisudanya. Beberapa waktu lalu ayah telah menerima lamaran pria yang akan menikahinya. Muti tidak setuju, namun tak mampu berbuat apa-apa. Akhirnya ia menyusun rencana untuk pergi bersama kekasihnya sebelum akad nikah berlangsung. Pukul delapan malam ia berjanji akan datang menjemput lewat jendela. Ini sudah hampir pukul sembilan. Sebentar lagi akan datang mempelai pria beserta keluarganya. Kecemasannya memuncak, apalagi tak jua diberi kabar lewat telepon genggamnya.

“Tok, tok…”

Tak lama ketukan halus terdengar dari arah jendela kamarnya. Sekejap gundahnya tersaput senyum tipis. Diraihnya tas yang tak seberapa besar ukurannya. Dibukanya jendela dengan amat perlahan. Hari ini ia ingin kabur, pemberontakan besar-besaran yang kali pertama dilakukannya pada orangtuanya. Namun ia amat terkejut sebab yang didapatinya di jendela bukanlah Wisnu kekasihnya, tetapi temannya dengan membawa sepucuk surat yang katanya dititipkan Wisnu untuknya, lalu orang itu pergi begitu saja dan menghilang di kegelapan.

Dibukanya dengan penuh was-was, begitu singkat tulisan yang ada di sana,

Teruntuk Mutiaraku,

Maafkan aku karena tidak menepati janji kita. Aku sangat mencintaimu, maka aku harus mengambil keputusan demi kebahagiaanmu. Sejak hari dimana Ayahandamu menolak permohonanku, aku tak lagi punya asa, namun aku tak pula ingin membuatmu jadi anak durhaka. Menikahlah dengannya, aku tak akan mengganggu hidupmu lagi. Aku sungguh tak bermaksud melukai dan menyakiti hati siapapun, terlebih hatimu. Tapi jika aku membawamu pergi malam ini, akan lebih banyak hati yang terlukai. Percayalah bahwa kau pasti akan bahagia dengannya.

Pria yang selalu mencintaimu,

Wisnu Fahrezi

Mutiara meneteskan bulir-bulir kristal dari bola matanya, tak lagi terbendung kepedihan dan kekecewaan yang dirasakannya. Entahlah, tak ada kata yang mampu melukiskan keporakporandaan hati Mutiara. “Baiklah, jika kau tak ingin membawaku, maka aku akan pergi sendiri menjemput kebahagiaan yang tertunda.” bisiknya pada diri sendiri. Dilangkahkannya kaki ke arah jendela, namun terlambat, iring-iringan mobil keluarga mempelai pria telah hadir tepat di depan rumahnya, hingga keramaian mendesak sepi yang seharusnya melingkupi sekitar jendela kamarnya. Lalu pintu kamarnya diketuk.

Medan, September 2009

memenangkan sayembara cerpen HMJ BSI se-Sumatera Utara
termasuk salah satu cerpen terbaik dalam antologi cerpen "Cermin"

Minggu, 06 Desember 2009

cerpen: cinta mengucap syukur

Cinta Mengucap Syukur
14 September 2009

“Dalam butiran air mataku sungguh menjadi iba yang ingin ku bawa mengalir menuju kebahagiaan yang tertunda. Sulitnya aku untuk bisa percaya sekaligus … dengan dirimu.
Apa yang kau inginkan dariku? Yang kupunya hanyalah butiran perih dan duka. kau bisa bahagia tanpa ku saat ini. Teruskanlah!. Sesungguhnya kau tak butuh diriku. Dari pada bersamaku kau justru merundung pilu, lebih baik kau raih angan cita dan bahagiamu sayang!
Raihlah bahagiamu tanpa diriku. Aku rela seandainya aku ini hanyalah sampah yang kau perlukan untuk kau jual agar mendapat selembar dua lembar penghidupan. Aku rela. Asal jangan kau katakan bersamaku kau…merundung pilu…aku tak rela….
Biarlah kita hidup berdampingan namun penuh syukur daripada kita hidup bersama namun tak bersyukur…..
Yang ku ingin saat ini kebaha-giaan bagimu. Aku tak peduli menjadi-kan racun itu hanya untukku….kau tidak….kau tak perlu menungguku bangun atau meminum pula racun itu…….kau cukup pergi melihat indahnya mentari…..yang menyambutmu dengan senyuman……..biarlah aku bahagia bersama kerelaanku ini…..dan biarlah aku melihat orang lain bahagia asal tujuanku hanya satu….syurga bagimu dan bagiku.
Tak tau kau siapa. Yang ku tahu bahagiamu itu sungguh berarti bagiku. Tak tau apa yang kau perbuat?.....yang kutahu kau tersenyum saja………tak tau apa yang kau pikirkan….yang kutahu kau itu sungguh bermental baja……….tak tahu apa yang menjadi anganmu…….yang ku tahu aku tak ingin menjadikan bahagiaku diatas deritamu.
Aku tak akan menyalahkan waktu ini………..kukatakan saja tiap perkenalan itu memberi arti………….tak mau kusesali ……..akan aku syukuri walau hanya sejengkal.
Tak mungkin aku bisa mengungkap lagi apa-apa yang sudah aku lalui selama ini………..biarlah kita jalani………biarlah kita satukan pendapat……………aku tak ingin memaksa walau hatiku merintih minta untuk menjerit…..walaupun darahku mengucur minta untuk di semprotkan menyirami bunga-bunga yang gugur…………hanya ini yang kupunya……hanya ini saja.
Ku tak ingin menjadikan dirimu perhiasan………lebih dari itu…….kau sangat berharga………..apalah aku……….apalah dirimu………yang kutahu kita hanyalah hamba –Nya yang patut mengucap syukur atas pertemuan dua insan.

Hari itu pertemuanku denganmu. Hari itu aku terduduk bersandar dilapisi dinginnya bumi menembus pori-pori lantai permaisuri. Yang ku tahu matamu hanya tertuju pada setiap wanita yang lewat. Tak terkecuali aku. Ya…tentu saja, aku ini wanita yang menarik perhatianmu saat pikiranmu sedang gundah memikirkan ini dan itu. Aku tahu. Kau adalah segelintir orang itu… ku biarkan pikiran-pikiran liarku membujuk dirimu yang duduk diantara singgasana indahnya permaisuri. Ya…kau duduk di kursi, tapi aku di lantai. Tidak sopan memang. Seharusnya kau mempersilahkan wanita untuk duduk di tempat yang lebih terhormat itu. Tapi aku lebih tahu. Aku tahu kau mencoba mendapat sesuatu hari ini. Tidak hanya satu tapi dua bahkan tiga hal sekaligus.
Aku? Ya…aku juga menginginkan sesuatu hari ini. Sesuatu yang barangkali bisa membuatku merinding bahkan merintih minta dipermainkan cinta. Sekali lagi, sekali saja. Aku memang cerewet. Ha..ha…itulah kata ibuku. Ibu yang membuatku sampai pada hari pertemuan aku dan kau. Kau dan aku pastinya harus berterimakasih padanya dan padanya. Ibuku dan ibumu.
Perbedaan aku dan kau. Aku hanya ingin memberi sinyal namun kau yang menangkap sinyal itu. Untuk kau manfaatkan dan kau kembangkan. Aku hanya menunggu agar kau membayar atas semua sinyal yang sudah kau ambil dariku. Tidak. Tidak hari ini. Tapi nanti. Dikredit. Ha..ha..
Cinta itu akhirnya bersabda mengutus hati ini untuk disandarkan. Aku inginkan kerinduan darimu. Kau katakan itu. Aku inginkan kata sayang darimu dan kau katakan itu pula. Namun aku tak mendapat satu hal darimu, “cinta”. Kau tidak mencintaiku. Tidak memang. Yang kumau kau mencintai Tuhanmu, Tuhanku, Allah SWT.
Aku ingin masuk dalam permainanmu. Kubiarkan diriku bercampur dengan semua adonan yang kau sajikan. Aku sudah masuk ke dalam salah satunya. Aku menjadi bagian dari hidupmu, dan kau tentu saja menempatkan hatiku sekali lagi, mengingatkanku atas masa lalu. Biarlah. Aku memang ingin melanjutkan masa lalu itu. Aku penasaran. Aku ingin menyempurnakan rasa penasaranku yang tertunda dahulu. Aku sempat takut masuk ke dalam permainanmu, namun kuputuskan untuk meneruskannya. Biarlah semua berjalan seperti apa yang Allah inginkan.

***

Kau seorang yang membuat hidupku selama ini gundah mencari cinta, sekaligus menuntaskannya. Aku ingat! Duhulu aku dibuat pusing masalah cinta tapi kali ini aku dibuat pusing dengan masalah kasih sayang. Ya…aku hanya mengharapkan kasih sayang darimu karena cintaku sudah diputuskan hanya untuk Allah SWT. Allah yang tidak pernah meninggalkan aku dimana pun aku mendapat kabut kehidupan. Tapi kau, kau adalah insan yang akan meninggalkanku suatu saat nanti. Maka kuputuskan untuk merindukanmu, menyayangimu, dan menginginkanmu menjadi bagian hidupku tanpa berkata “love for you”.
“ berhembuslah engkau angin malam…bawa serta laguku…mengintari bumi ini hingga jauh…akulah seorang petualang yang mencari cinta sejati…sampai nanti aku akan tetap menanti…”
“Ups….sori….ribut”
“ Apaan sih ra..kalau kau hidupkan musik sampai pagi pun aku gak peduli…”
“ya…siapa yang suruh, yang kutahu kau akhir-akhir ini kau merindukannya terus. Tidak bosan apa? Tidak bosan? Dia tidak peduli denganmu…dia hanya menjadikanmu yang kedua”
“Tidak ada yang menyuruhmu berpendapat”
“oke, alangkah bodohnya adikku tercinta”
Siapa? Siapa kelak yang mengerti keputusan hatiku. Aku tidak peduli. Aku putuskan hanya Allah yang mengetahuinya. Hanya Ia yang ada saat gundahku menggebu-gebu. “hmmm….bila tiba waktuku, ku tak ingin seorang pun merayu, tidak juga kau”
“sepertinya begitulah keinginan hatiku”.
Di kamar berukuran pas dengan keinginanku ini aku habiskan untuk mencurahkannya di netbook. Apalah artinya semua yang kuungkapkan jika tak bisa aku abadikan. Ingin rasanya aku menjerit tapi sekali lagi akan kuputuskan untuk mendokumentasikannya. Dengar saja curhatku ini. Dia sekali lagi hadir dalam mimpiku. Namun ku biarkan saja dia hadir lalu pergi lagi. Ha..ha..

***
Biar kulajutkan. Saat itu aku inginkan dia didekatku. Kupaksa ia sejadi-jadinya. Mulai dari jurus boong-boongan sampai pada trik ngambek segala, tapi tak berhasil. Jadinya justru emosi yang menjadi-jadi. Huh… siapa yang mau ditelantarkan, lebih tepatnya kepeduliaannya sudah luntur di makan waktu saat ini. Pikiranku melayang membayangkan ia berjalan dengan wanita aduhai disana. Menertawakanku, membodohiku, ingin membuatku hampir gila. Ahh, bukankah kata-kata adalah doa. Tidak, tidak ingin kudoakan ia seperti itu. Akan aku doakan ia laki-laki terbaik. Ya…karena aku tak ingin mengenal pembohong untuk kedua kalinya.
Lantas apa alasan bagiku untuk mempercayai sepenuhnya orang yang baru saja aku kenal. Lagi-lagi aku beristighfar lalu berdoa “Ya Allah... berilah aku petunjuk seperti apa dia”. Sekian kali aku tak mampu menutupi kekhawatiranku ini. Lalu kuputuskan meminta pendapat beberapa sahabat. Allah berkata sebaik-baiknya manusia meminta nasehat kepada beberapa orang tidak hanya satu orang. Aku pun mendapat beberapa jawaban yang beragam. Bukannya tidak pusing. Akh..pusingnya. tapi aku coba saja untuk merangkum semuanya seperti yang dilakukan Jansen Sinamo dalam bukunya 8 Etos Kerja Profesional. Butuh banyak referensi baginya untuk bisa menyimpulkan 8 etos kerja dan butuh banyak waktu pula baginya. Aku pikirkan, Aku pikirkan, dan aku pikirkan lagi. Dengan cukup yakin aku punya jawabannya. Ya…aku jalani saja. Ha..ha.. apa pusingnya sih.
Piawainya hamba Allah yang satu ini dalam berpikir, pikirku dalam hati. Hari itu aku tak ingin ambil pusing lagi. Aku hidupkan lagu-lagu terbaik dari jajaran eropa hingga Asia dan tentunya Indonesia. Aku jadi ingat lagu Indonesia Raya dan aku jadi ingat lagu “Beraksi” yang dipopulerkan Grup Band Kotak, lalu aku ingat bukankah Indonesia berambisi sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Indahnya seindah anganku untuk menjadikan dia imamku. Sudah lama memang bahkan sejak kecil aku inginkan seorang imam. Imamku dahulunya ayahku namun, aku sudah dewasa, ia juga sudah pergi, yang kupunya hanya tangis. Ku doakan untuk diriku agar Allah memberi aku imam seperti ayahku itu. Ya…aku melihat itu pada dirinya. Tapi apalah yang sudah kupikirkan? Aku tak pantas berpikir begini karena aku harus berpikir untuk orang-orang terdekatku, ibu dan kakak. Merekalah. Seharusnya mereka. Dia masih menjadi bubur nasi belum nasi. Huh..
Bertuturlah cinta mengucap satu nama. Dia. Apa Dia? Ya Allah hambamu akan mensyukuri tiap-tiap yang kau pilih. Aku hanyalah manusia bodoh. Kau yang pintar memilihkan imam yang terbaik untukku. Kau lah Yang Maha Pintar.
Ku akan panjatkan padaMu Yang Maha Cinta. Garis tangan yang tergambar ini sebagai awal aku melihat petunjukmu. Hmm…..aku akan bersujud syukur seandainya memang dia. Itu semua masih lama.
“aku tak ingin membohongi diriku lagi dan juga tak ingin membohongi dirimu. Aku selalu memikirkanmu. Seandainya kau kirimkan malaikatmu disini aku tak akan lagi meneteskan air mata ini yang tiada berhenti mengiringi kisah di hatiku. Biar malaikat itu menjadi kawan hidupku dan tunjukkanlah jalan yang kau pilihkan untukku. Aku, di dunia ini, aku tak mau sendiri.”
***
“Apa pernah adek menuntut dari abang?”
“tidak”
“lalu jika abang fine kenapa takut?”
“kalau adek gak percaya sama abang lebih baik tidak usah kita jalani hubungan ini”
“Begitu”
Akh…gila dia. Dia sudah gila. Berkata tanpa berpikir. Inginnya aku memaklumi kata-katanya. Tapi aku gundah, goyah, rapuh, sulit sekali harus memikirkannya. Air mataku menetes. Tidak taukah dia. Berjuang aku berdoa yang terbaik untuknya. Tidak taukah? Dia pikir aku ini apa? Apa? Selintas aku takut. Takut. Hatiku sudah aku titipkan padanya. Tapi bagaimana jika ia buang percuma. Aku akan tercabik. Aku akan hancur. Saat seperti itulah aku mengingat Allah. Ya..masih ada Allah. Dia masih sayang padaku.
Demi menjaga keamanan hatiku, aku mencoba mengotak-atik buku, netbook, menyanyikan lagu, dan apa sajalah. Aku tak boleh mencintainya. Tidak boleh hati yang berharga ini kutitipkan padanya. Tidak. Aku tak perlu menangis karenanya. Tidak. Dia orang baru. Tak pantas aku tangisi. Seandainya aku jadikan dia saudara laki-lakiku aku akan tetap memilikinya. Kuketahui dari awal ia lebih berharga sehingga aku tak ingin jadikan dia hanya sebagai perhiasan belaka. Tidak. Siapapun dia, yang kutau candanya adalah candaku.
Untuk apa aku menyesali apa yang telah terjadi dalam hiduku ini? Aku inginkan bungkam sejenak. Berpikir lebih jernih. Apa dia punya masalah? Aku ingin menyelesaikannya jika diizinkan. Aku tak ingin ia menyalahkanku atas masalahnya. Aku tak ingin menjadi bebannya. Sepertinya diam adalah jalannya. Itulah kata Rasulullah SAW.
Aku diam saja. Aku biarkan waktu ini untuk ia berpikir dan untuknya berpikir. Namun aku sudah menemukan jawabnya. Syukur. Aku harus mensyukuri rasa ini. Aku harus menikmatinya. Cinta memang harus mengucap syukur.



(masuk buku antologi cerpen "cermin", HMJ BSI SUMUT)

Jumat, 23 Oktober 2009

Cerpen: Sri Rizki H.


KETULUSAN

Oleh: Sri RH

Kutatap langit biru yang membulirkan berjuta keindahan dan harapan sembari merenungi nasib hidupku yang penuh dengan dilema. Jiwaku bergejolak, ingin berontak pada takdir kehidupan, tapi pada siapa aku harus marah? Pada siapa harus kulampiaskan rasa kesalku? Untuk apa aku marah? Amarah itu akan sia-sia saja karena Allah telah menuliskan nasibku pada lembaran-lembaran takdir. Aku sadar inilah takdir hidupku yang harus kujalani dengan penuh ketabahan dan keikhlasan,

Aku terlahir dalam sebuah keluarga yang sederhana, dari ibu yang sederhana, dari kelahiran yang sederhana sebab hidup ini pun sederhana saja. Namun, dalam kesederhanaan ini aku bersyukur karena di sinilah kuperoleh kebahagiaan yang tak tergantikan oleh apapun. Aku punya orang tua yang begitu bijaksana, yang selalu mengajarkanku arti hidup, arti kesederhanaan dan mengajarkanku bagaimana mensyukuri nikmat Allah SWT.

Seketika lamunanku dibuyarkan oleh suara tawa seorang pria paruh baya. Kualihkan pandangan mataku untuk mencari suara yang tertangkap daun telingaku. Tepat di sudut rumah, kulihat sesosok tubuh kekar dengan kulit hitam legam yang terbakar terik matahari. Dengan kumis tebal yang menempel di atas bibirnya dan janggut yang menempel di dagunya membuat wajahnya terlihat begitu seram bagi siapapun yang melihatnya. Namun, pada kenyataanya dia adalah seseorang yang sangat baik hati dan ramah. Pria paruh baya itu adalah ayahku. Seseorang yang sangat kami kagumi dan selalu menjadi tauladan kami, anak-anaknya.

Ayahku hanyalah seorang petani yang punya penghasilan pas-pasan. Walaupun penghasilan itu sudah bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari namun, untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya, ayah harus mencari tambahan lain. Karena itu, selain bertani, ayah juga menjadi agen buah khususnya mangga. Demi kebutuhan sehari-hari dan pendidikan anak-anaknya, kedua pekerjaan itu benar-benar digeluti oleh ayah. Walaupun begitu, ayah tidak pernah berkeluh kesah. Dengan penuh keikhlasan dan kesabaran ayah menjalani semua ini dengan harapan anak-anaknya akan menjadi orang yang berguna kelak bagi diri sendiri, keluarga, bangsa dan negara. Sungguh tiada kata yang mampu kurangkai untuk memuji ketulusan ayahku.

Sementara ibu hanyalah seorang ibu rumah tangga yang selalu setia melayani ayah dan merawat serta mendidik kami anak-anaknya. Namun, ibu bukanlah seorang istri yang tega membiarkan ayah bergelut sendiri, mempertaruhkan hidupnya demi memperjuangkan masa depan anak-anaknya. Karena itu, ibu membuka usaha kecil-kecilan di rumah yaitu usaha emping melinjo kebetulan kami juga punya pohon sendiri. Alhamdulillah dari penghasilan tersebut, ibu bisa memenuhi kebutuhan lainnya seperti pakaian dan keperluan rumah tangga lainnya.

***

Di pagi yang kelam kurasakan dingin yang luar biasa membalut seluruh tubuhku membuat tubuhku malas untuk beranjak dari tidur malamku. Lantunan kalam Allah sayup-sayup tertangkap daun telingaku sebagai pertanda kalau azdan subuh akan segera berkumandang. Pada saat bersamaan aku juga mendengar suara peralatan dapur saling beradu. Saat itu, aku tersadar kalau ibu sudah mulai beraksi di dapur menyiapkan segala kebutuhan untuk sarapan pagi. Namun, aku masih tetap bermalas-malasan di tempat tidur karena mataku yang celik masih sulit untuk menyambut pagi yang kelam dan akhirnya aku kembali terlelap.

Azdan subuh pun mulai berkumandang menggemparkan kesunyian pagi yang kelam. Namun, aku masih terbuai oleh sentuhan angin syahdu yang membuatku terlelap dalam mimpi tak bertepi.

Sayup-sayup terdengar suara memanggilku. Liaa…!Liaa…!Aku tetap diam tak bergumam, tapi aku merasa sudah menjawab panggilan itu. Terdengar lagi suara panggilan di telingaku dan kali ini daun telingaku menangkap dengan jelas suara itu. Liaa…! Aku pun tersentak dan segera bangun dari tidurku. Aku baru sadar ternyata suara yang dari tadi kudengar adalah suara ibu yang membangunkanku untuk shalat subuh.

Aku pun segera turun dari tempat tidurku untuk melaksanakan perintah sang pencipta. Kurapikan rambutku dan langsung keluar kamar menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelah selesai shalat, aku pun segera merapikan tempat tidur dan bersiap-siap untuk mandi. Tapi, aku harus ngantri karena kakak-kakakku sudah mendahului aku.

***

Aku menanti. Duduk di ruang tengah sambil memandang pepohonan yang melindungi rumahku dari debu dan sinar matahari yang selalu menghampiri. Kulihat rembulan yang hampir hilang dari pandangan mengintip dari balik pepohonan mengingatkanku pada kebahagiaan yang semu. Namun, aku tak boleh pesimis, aku harus optimis bahwa kebahagiaan yang kuimpikan pasti akan kuraih.

Pandangan mataku beralih pada sesosok tubuh yang berdiri di bawah pohon jambu yang rindang. Kulihat ayahku yang sedang membenahi sepeda jandanya. Seperti biasa ayahku selalu menyiapkan semua peralatan yang dibutuhkannya untuk berangkat ke sawah setiap selesai shalat subuh. Ayah selalu menyiapkan semuanya di saat langit masih gelap karena dia tidak ingin mentari pagi lebih dahulu menyapanya sebelum dia sampai ke sawah.

Ayahku bukan hanya giat dan tekun dalam bekerja tapi dia juga orang yang teliti. Untuk sepeda saja dia benar-benar mengontrolnya agar dapat dikayuh dengan baik oleh kedua kakinya. Belum lagi perlengkapan lainnya, seperti pacul dan parang juga setiap hari selalu diasah hingga tajamnya mampu menghancurkan segala penghalang perjuangannya dan selalu siap menemani ayah dalam berjuang menuliskan masa depan anak-anaknya di hamparan cita-cita.

Tak lelah mataku memperhatikan ayah. Semua peralatan telah selesai dibenahi dan dikemas dalam keranjang. Kemudian keranjang dinaikkan ke atas sepeda, tepatnya diletakkan pada bangku belakang dan diikat dengan gesit oleh ayah. Matanya yang jeli melihat sisi kiri dan kanan keranjang, untuk memastikan apakah karet ban dan keranjang sudah menyatu dengan sepeda hingga dia yakin kalau keranjang itu tidak akan jatuh atau terlepas dari ikatannya. Itulah ayahku yang begitu giat dan tekunnya dalam berjuang menapaki hidup.

Lamunanku dibuyarkan oleh teguran ayah. “Kenapa belum mandi, sudah jam berapa ini?”

“Haa..!O, iya yah, ini Lia mau mandi tadi masih nunggu kakak.” Aku sedikit kaget mendengar teguran ayah karena ayahku bukanlah orang yang banyak bicara. Kalaupun bicara hal-hal yang penting saja jadi aku takut kalau ayah marah.

“Sudah cepat, nanti kesiangan!”

“Iya, Yah!”

***

Secangkir kopi hangat telah tersedia di atas meja. Begitu juga teh dan sarapan pagi dengan menu spesial “nasi goreng telur dadar”. Walupun menunya sangat sederhana, tapi bagi kami itulah sarapan pagi yang sangat spesial, apalagi nasi goreng buatan ibu.

“Yah, sudah selesai atau belum? Minum dulu kopinya, nanti kalau dingin tak enak lagi.”

“Ya Bu, sudah selesai kok! Anak-anak sudah selesai atau belum? Suruhlah cepat, nanti kesiangan pula sampai di sekolah.”

“Iya Yah, sebentar lagi juga selesai.”

Terdengar suara ibu memanggil aku dan kakak-kakakku untuk segera sarapan pagi. Kami pun segera bersiap-siap dan bergegas menuju ruang makan yang cukup sederhana. Ibu dan ayah sudah menanti kami, duduk di hamparan tikar tepat di depan TV merek Sanyo berkotak ukuran 21 inch berwarna hitam putih. Kami pun duduk bersama menikmati sarapan pagi dengan penuh keakraban. Begitu indahnya pagi ini kurasakan bersama keluarga saling bercengkrama menyantap sarapan pagi yang spesial itu.

***

Ayah sudah meyiapkan uang saku untuk kami semua. Pagi itu, sebenarnya aku perlu uang lima ribu rupiah untuk membayar cicilan uang buku. Tapi, belum sempat aku menyampaikan maksudku pada ayah, abang sudah mendahului aku. Seketika aku mengurungkan niatku karena aku tahu bagaimana kondisi keuangan ayahku. Aku tak mungkin memaksakan keinginanku. Namun, tanpa kuduga ayah bertanya padaku.

“Berapa lagi uang bukumu Lia?” Aku tersentak, aku sangat terharu mendengarnya, dengan perasaan yang tak karuan aku pun menjawab pertanyaan ayah.

“Lia butuh lima belas ribu rupiah lagi Yah untuk melunasi semuanya.”

“Ayah belum punya uang untuk melunasi semuanya jadi masing-masing ayah beri lima ribu rupiah dulu, kekurangannya sabar ya nak, nanti kita bayar. Berdoa saja mudah-mudahan Allah memberikan rezeki yang lebih buat kita.”

“Amiin..! Kami menjawab serentak. Mendengar kata-kata ayah hatiku benar-benar hancur, terhempas oleh ombak rasa yang berkecamuk di relung kalbuku, menghimpitku di antara puing-puing berserakan di hamparan kealfaan.”

“Jangan khawatir nak, Allah tidak akan mengabaikan hambanya yang benar-benar ingin memperoleh ilmu pengetahuan.” Ibu menambahkan kata-kata ayahku. Aku terdiam mendengar ucapan ibu, aku masih belum mengerti apa maksud dari kata-kata ibu.

“Jangan bingung nak, seperti yang pernah ibu dengar dari orang tua dulu, katanya kalau untuk pendidikan Allah pasti akan memberikan rezeki yang berbeda, yakinlah pada kata-kata itu, yang penting kuatkan kemauan kalian untuk belajar, insya Allah semua pasti akan berjalan dengan lancar sesuai dengan harapan kita.” Aku begitu lega mendengar motivasi dari ibu, ibu benar kalau aku harus yakin kalau Allah akan selalu membantu hambaNya yang lemah. Aku tidak akan mengecewakan ayah dan ibu. Aku harus mampu mewujudkan harapan ayah dan ibu untuk menjadi orang yang berguna baik dunia maupun akhirat nanti.

***

Tepat pukul enam pagi, Ayah segera bergegas untuk berangkat ke sawah dan kami menyalaminya. Setiap hari ayah mengayuh sepedanya dan melewati kerikil-kerikil tajam di hamparan jalan. Berlomba dengan sinar mentari pagi. Itulah ayahku yang tak pernah menyerah dengan kehidupan. Tak pernah mengeluh selalu ikhlas menuliskan masa depan anak-anaknya di lembaran kehidupan. Dengan sawah sebagai kertas dan pacul sebagai pena pengukir cita-cita. Berdiri di bawah terik matahari mengayunkan pena di atas lembaran kehidupan mengukir cita-cita tiada terganti.

Pelita Harapan

Oleh: Sri Rizki H

Reranting senja merimbunkan dedaun malam, berpucuk awan memekarkan kelopak hitam. Namun, masih kulihat kuntum-kuntum bulan merekah di taman langit munajatkan semerbak cahaya temaram penepis gelapnya renyuh-renyuh malam. Hanya untaian salam yang mampu kutitipkan lewat desir angin yangmengalir agar dapat membasahi kegersangan hari terlewati.

***

Sekiranyasenja tak menyusup dalam nadi napas kehidupanku, takkan kurasakan gelap yang maha pekat memngiringi perjalananku.

Ini takdir perjalanan hidupku.

Ya, inilah perjalanan hidupku. Akan kurangkai semangat perjuangan di bingkai tabir kehidupan. Kutakkan mengeluh dan merasa terhempas oleh takdir hidupku.

Sekiranya senja itu bukan suratan, maka kutakkan ikhlas menerima semua ini. Kupasti mengingkarinya. Tapi, aku sadar. Ya, kutersadar kalau kita semua akan menjumpai senja itu. Takkan ada yang mampu menghindar.

Saat ini, hanya masa depanku dan adik-adikku yang akan kurangkai dalam jambangan munajat airmataku. Sebagai seorang anak sudah tugasku mengabdi pada orang tua dengan menjadikan adik-adik sebagai tanggung jawabku. Ini kulakukan bukan hanya demi ibu, tetapi demi ikrar yang pernah meluncur saat senja membawa ayahku tercinta.

Reranting senja terus membayangiku, mengingatkan pada kemurahan hati dan kebijaksanaan ayah. Aku hany bias memunajatkan semerbak temaram dalam kenangan masa laluku, berharap terbentang masa depan cemerlang dihadapanku. Sedih, bimbang pada potensi diri. Mampukah aku?

***

Aku masih mengecap pendidikan di belantara cita-cita. Tepatnya di SMA Negeri 1 Perbaungan. Namun, saat aku baru saja merajut mimpi. Aku harus kehilangan harapan menjadi siswa terbaik. Selama ini ayah yan g selalu mendongkrak semangat belajarku. Tapi, setelah senja itu menyongsong, tak ada lagi yang mampu memberi terapi sejuk sebagai pondasi perjuanganku.

Aku bingung.

Tak tahu apa yang ingin kulakukan. Semua terasa hampa. Aku tidak tahu, apakah besok aku masih bias bersekolah atau tidak?

“Lia, besok pulang jam berapa nak?” Emak bertanya padku dengan penuh iba.

“Kiki pulang seperti biasa mak, tepat jam 14.00. Memang ada apa mak?” Kupandang wajah emak yang sendu, matanya yang indah terlihat cekung karena terhanyut oleh senja yang menenggelamkan kebahagiaan kami.

“Tidak apa-apa nak!”

“Emak jangan bohong sama Lia.” Kutatap wajah emak. Terlihat wajah rembulan itu menyembunyikan sederat masalah.

“Lia bagaimana kalau seandainya emak tak sanggup lagi menyediakan ongkos dan membayar uang sekolahmu nak?” Seketika aku terhenyak, terpental oleh pmbak rasa yang akan menggulung impianku. Kuterdiam. Tak ada satu kata pun yang meluncur dari bibir. Mataku berkaca-kaca. Tak pernah kubayangkan jika harus putus sekolah. Emak tak mengharapkan jawabanku lagi. Emak menyadari betapa terpukulnya aku mendengar pertanyaan itu.

“Sudahlah Lia, kita jalani saja dulu, mudah-mudahan Allah memberikan rezeki lebih buat kita.Tapi, kalau nanti emak benar-benar tak bisa memenuhi semuanya, kamu harus siap ya nak!” Hatiku pilu mendengarnya, membuat lidahku terpintal tak mampu berkata-kata. Aku segera menghambur ke kamar. Kurebahkan tubuhku di atas ranjang. Kujatruhkan wajah pada bantal yang yang setia menemani tidurku. Kali ini, bukan hanya menjadi teman tapi penghapus airmata kebimbangan yang mengalir dari saku airmataku.

“Ya Allah, tolong hambamu ini!...Apa yang harus kulakukan? Berilah hamba petunjuk dan jadikan hamba manusia yang kuat dalam mengarungi samudera kehidupan ini, amiin..!

Aku harus bangkit.

Aku tak boleh menyerah pada suratan takdir. Kalau aku lemah dan menyerah pada suratan berarti gagal. Bertahan dan berjuang itu jalan terbaik bagiku. Kuhapus airmata segera.

***

Seperti biasa, aku berangkat ke sekolah menempuh perjalanan lima kilo meter dari rumahku. Tiga ribu rupiah uang yang diberi emak hanya cukup untuk ongkos saja, tidak ada uang saku untuk memanjakan perutku.

Aku cukup aktif mengikuti kegiatan sekolah. Karena itu semua guru mengenalku. Walaupun begitu tetap saja semangat belajarku masih begitu rendah. Peringkat sepuluh besar pun tak mampu kurangkul.

“Lia, akhir-akhir ini kuperhatikan semangat belajar kamu menurun, kenapa sih?” Lirih Ani teman karibku.

“Enggak semangat bagaimana? Aku biasa-biasa saja kok..!”

“Lia, kita itu berteman sudah lama, aku kenal karakter kamu. Jadi jangan bohngi diri kamu sendiri. Kenapa Lia? Apa perubahan ini karena kepergian ayahmu?” Aku diam berangkai kata.

“Kalau itu penyebabnya, sudahlah Lia, tidak perlu senja itu terus mengusik pikiranmu, masih ada beruntai mimpi yang harus kamu rangkul temanku. Tak perlu menyesali dan meratapi yang telah pergi, karena sesal dan ratap takkan mengembalikan itu semua. Aku temanmu Lia, ungkapkan semua yang kamu rasa biar aku bisa membantumu, setidaknya mengurangi sedikit beban pikiranmu teman.” Airmataku mengalir tak terbendung. Jatuh beruntai penuh lara.

“Kepergian Ayah memang membuat kusedih An. Selama ini dia penopang ku dalam menapaki pendidikan. Alhamdulillah sampai saat ini aku masih mengecap pendidikan. Tapi An, saat ini aku berada di persimpangan. Aku bingung jalan mana yang harus aku ambil. Satu jalan mengajak aku terus maju untuk merah apa yang kumimpikan dan satu jalan lagi, aku melihat emak berlinangan airmata, mengiba dan memintaku mengurungkan niat untuk mengejar mimpi itu. Dan semua itu ada alasannya. Satu hal lagi An, ketika senja itu membawa ayahku, aku telah berikrar di tengah haru, aku akan mewujudkan mimpiku untuk jadi suri tauladan bagi adik-adikku nanti.” Sekarang harus bagaimana kupertanggungjawabkan ikrarku dan bagaimana mungkin aku menolak permohonan emak? Aku harus mengikhlaskan semuanya An, mimpi dan harapanku. Aku harus siap jika harus meninggalkan sekolah ini. Semua ini karena ekonomi keluarga yang tak mampu lagi menopang kebutuhan kami. Untuk yang sejengkal saja, kami harus mencekik leher demi mempertahankan pendidikan. Pada dasarnya, pendidikan itu sangat penting bagi keluargaku, tapi suratan takdir ada di tangan Allah An, aku hanya bisa berusaha untuk bertahan dengan segenap kemampuan yang kupunya. Akan kubuka lembaran-lembaran takdir dan berusaha merangkainya seindah mungkin.

“Subhanallah, maha suci Allah, yang masih memberi kesabaran buat kamu Lia. Sekarang aku paham. Aku simpati padamu teman. Mungkin kalau aku diposisi kamu, aku akan marah pada ibuku karena menyuruhku putus sekolah. Itu hal yang memalukan Lia.”

“Aku tidak akan pernah marah pada emak An, karena aku tahu di relung hatinya, itu pasti keputusan berat. Apalagi masih banyak yang harus ditanggungnya. Walaupun bagiku ini pukulan keras. Aku tetap berusaha bertahan An demi ikrarku pada ayah.”

“Sabar ya Lia, aku yakin kamu pasti mampu melewati semua rintangan ini. Allah Maha Pengasih, takkan pernah membiarkan hamba-Nya terpuruk dalam ketidakberdayaan. Mudah-mudahan Allah memberikan jalan keluar untuk masalah ini ya Lia!”

“Amiin, mudah-mudahan saja An, makasih banyak ya An dah Bantu aku mengurangi beban ini.”

“Itu gunanya teman Lia, jangan pernah kamu memikirkan masalah sendiri karena itu akan menghambat kreativitasmu.” Aku bersyukur punya teman yang mau berbagi sukacita denganku.

***

Pagi ini memberi terapi sejuk di relung hatiku. Kicauan burung begitu syahdu terdengar. Menghibur kepedihan yang menusuk-nusuk ulu hatiku. Aku berada di kelas menanti guru bidang studi yang tak kunjung hadir.

Terlihat Pak Ritonga menuju kelas kami. Seorang guru Bimbingan Konseling sekaligus pengurus beasiswa di sekolah ini. Kupikir beliau akan menggantikan guru kami, tapi ternyata hanya mendata orang tua murid yang sudah tidak ada. Awalnya aku tidak tahu untuk apa itu, beberapa hari berjalan barulah aku tahu, nama-nama itu akan diajukan untuk menerima beasiswa.

Aku senang. Seketika hatiku berkecamuk.

Menyimpan segala rasa.aku merasa pelangi telah yerbaentang d I hadapanku. Aku yakin untuk tahap awal pendidikanku akan terselamatkan dengan beasiswa tersebut. Aku bersyukur karena Allah telah mendengar doaku.

Kusampaikan berita gembira itu pada emak. Emakku yang selalu bermunajat airmata, sangat bersyukur karena Allah memberikan jalan keluar untuk kebimbangan hatinya. Meskpun begitu, tetap saja aku harus mencari tambahan lain agar emak tak terlalu berat.

Kumanfaatkan hariku untuk kerja paruh waktu. Walaupun hanya lima ribu rupiah yang kudapat setidaknya membantu meringankan beban emak. Aku bisa berangkat sekolah dengan hasil keringatku. Aku juga membantu emak membuat emping untuk memenuhi kebutuhan harian, meskipun sampai larut malam. Aku takkan pernah mengeluh. Semua ini demi emak, adik-adik dan perjuanganku menapaki kehidupan.

Aku akan terus berjuang. Selama kedua tangan dan kakiku masih leluasa untuk beraktivitas. Takkan pernah kuberhenti menapaki perjalanan menuju belantara cita-cita.

Aku punya mimpi.

Punya harapan. Takkan kuabaikan harapan yang kurajut di reruang hati, sampai tubuhku tak mampu bergerak dan lidahku kaku untuk bermunajat.

***



Catatan Terakhir
Oleh : Suryani S

Malam kamis, 12 juni 2008
Andai saja saat itu tak ada hujan yang membasahi seluruh tubuhku. Andai saja saat itu kau tak menolongku dari hempasan angin malam yang telah menghanyutkanku dari aroma malam yang dingin. Andai saja saat itu kau tak menghampiriku dan memberikanku seberkas senyum hangat di relung hatiku yang dingin. Andai saja aku tidak menerima semua pertolonganmu saat itu, mungkin aku tidak akan mengenalmu. Ah, andai saja semua itu tidak terjadi, mungkin saat ini aku masih berada di pangkuan rembulan yang tak bosan menatapku untuk menjadi pendampingnya. Hanya berandai-andai yang dapat kulukiskan saat itu. Hujan telah membasahi hatiku dari kegelapan yang terus bercengkrama dengan mutiara kecil yang terus berguyur di jalanan sunyi.
Inilah awal pertemuan yang membuatku selalu mencintaimu. Seandainya saat itu hujan tak menemani dan membasahiku, takkan ada kau di hatiku. Kau telah menjadi kebahagiaan yang terus menerus menghiasai hari-hariku. Bergelut aku dengan angan dan impian yang selalu terucap dari pembicaraanmu saat itu. Semua janji telah kusimpan agar menjadi mimpi yang tercipta suatu saat nanti. Dan kau sendiri akan kujadikan mutiara kecil yang akan kusimpan menjadi penghias di dinding hatiku. Betapa indahnya kau di mataku saat itu. semuanya tentangmu. Tak ada tentangku. Hanya kamu.

Sabtu, 14 juni 2008
Pagi ini kau meneleponku. Bahagia teramat dalam yang kurasakan. Hanya dering dari hendphone yang berbunyi, itu saja telah membuatku bahagia. Senyum kecil selalu terlontar dari bibir mungilku saat kau melontarkan kata-kata manja yang terus memuja dan memujiku. Tak sempat kau memberikanku sedikit waktu untuk membalas semua pujianmu. Entah apa yang kupikirkan. Rasa bahagia yang mewarnai hati dan pikiranku. Seakan kicauan burung telah musnah. Bahkan biola serasa tak berdawai, setelah mendengar segala ucapanmu yang terus bergema di telingaku. Ah, betapa konyolnya pikiranku saat itu.
Pujianmu telah menghanyutkanku ke dalam lautan bergelumur ombak yang terus berlomba mengejar mencari arah untuk tetap bergelombang di bukit pujian yang akan membawaku siap untuk tenggelam dari kedalaman pujian. Aku terus mendengarkan semuanya. Semua tentangku. Entah apa yang indah dariku. Aku mencoba mencari arti ucapanmu, tak jua kutemukan kebenarannya. Kebenaran tentang semuanya. Kuhiraukan batu-batu yang mengganjal di pikiranku. Karena semua itu hanya akan membuatku bodoh. Kubiarkan semuanya berjalan dengan alunan simponi terindah di hatiku.

Selasa, 17 juni 2008
Ini pertemuan kedua kita, pertemuan yang telah kita rencanakan seminggu yang lalu. Pertemuan ini sedikit membuatku grogi. Apa karena aku takut? Apa karena rasa rindu yang akhirnya menjadikanku tidak mempunyai keberanian untuk menatap wajahmu?. Pertanyaan ini terus mendesak di dadaku. Apa yang akan kulakukan nanti?. Ah, aku bingung..!.
Kutemukan kau duduk di rerumputan hijau. Duduk sembari memainkan hendphone yang berada di tanganmu. Aku hanya menebak-nebak dalam hati. Sesekali hp di tanganku bergetar. Tertulis namamu di layar hp. Kau memanggilku. Tapi, aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya menatapmu dari kejauhan. Wajahmu penuh harap dengan penantian. Aku tahu, kau pasti menanti kedatanganku. Aku mendekatimu dengan wajah lugu tapi malu. Sedikit ragu dan penuh harap agar kau tetap menjadi lelaki yang selalu kukenal disaat pertama bertemu.
Senyummu melebar, uluran tangan langsung mengarah padaku. Sedikit terkejut. Tapi, itu hanya sesaat. Duduk adalah langkah awal yang kulakukan. Lalu diam dan menatap wajahmu agak ragu. Perbincangan dan tawa canda membuatku terhanyut dalam suka, bahagia dan ceria. Semua hilang baik duka, lara yang kubawa dari perjalanan yang melelahkan siang ini. Aku tidak menyia-nyiakan kebersamaan denganmu saat itu.
Senja mengapung. Menjatuhkan wajahnya dan menggantikan ke dalam kegelapan. Indah, Saat aku dan kau menatap bulan, berdua menyaksikan bulan juga bintang menari dan berdansa di hadapan kita. Kita hanya tertawa dan menatap kearah langit malam. Tanganmu masih tetap erat menggengam jemariku. Sesekali wajahmu melirik kearahku. Rasanya malam ini hanya untuk kita berdua saja.

Jumat, 20 juni 2008
Kau mengajakku pergi. Aku mengikuti semua ajakanmu. Tanpa kuketahui apa maksud dan tujuanmu. Ku ikuti langkah jalanmu. Tenang, damai. Penuh dengan keheningan di sepanjang jalan. Terus berjalan mencari arah yang belum juga kuketahui langkah untuk berhenti.
Kau berhenti di tempat yang masih tersimpan di memori otakku. Tempat pertama kali saat hujan membasahi tubuhku hingga akhirnya kita bertemu. Yah,,,tempat itu masih sangat ku ingat sampai kapanpun dan akan menjadi kenangan terindah dalam hidupku.
Kau menatapku, Menggenggam tanganku. Erat tapi tak kuat, matamu begitu tajam, menusuk ke dada. Kembali ku balas semua arah tatapanmu yang hanya tertuju untukku. Panas, Meski angin menerpa tubuhmu. Tapi, matahari terlalu kuat menyengat kepori-pori. Tak gerah. Aku diam meski panas terus menyinariku dari atas ketinggian yang begitu jauh. Kau mulai mengucapkan semuanya. Tentang hatimu, rasamu, dan semua yang kau rasakan terhadapku. Terasa dingin jemariku. Hati dan pikiranku terasa bergoncang sekuat goncangan bumi. Tapi, tak goyang. Kuat dan utuh. Hanya perasaan yang mulai rapuh saat mendengar semuanya. Semua tentangku.
Terasa tak ada yang istimewa di diriku. Kenapa harus aku? Dengan mudahnya kau menjawab satu pertanyaanku. ”Karena kau, hidupku menjadi hidup” . jelas sudah semuanya. Hanya ini yang ingin kudengar darimu. Dan itu telah membuatku yakin akan dirimu. Yah,hanya itu.

Kamis, 10 juli 2008
Secara fisik kau adalah lelaki sederhana. Begitu sederhananya, sampai-sampai kau tak dapat disebut lelaki sederhana lagi. Penampilan sederhana, cara bicaramu yang sederhana, dan sikap yang sederhana. Kesederhanaanmu membuatku semakin kagum padamu. Tak akan pernah kusesali mengenal dirimu.
Perjalanan hidup yang telah kulalui denganmu, tanpa terasa terjalin selama dua bulan. Bunga mawar yang dulu mekar diranting batang yang berduri kini telah menjadi layu. Gugur tak bersinar seperti dahulu. Namun, kebersamaan kita masih tetap satu. Berjalan digaris kehidupan yang terus berputar hanya untuk menelusuri lika-liku jalan cerita kita yang akan menjadi kenangan di memori hati..
Kamis pagi, kau mengajariku tentang kerendahan hati dan kemuliaan jiwa. Kau membawaku untuk bisa menjadi manusia yang peduli dengan sesama. Tak pernah terpikirkanku sebelumnya, kau telah membawaku ke dalam kehidupan yang selama ini tak pernah kujalani sama sekali. Ah, betapa tersentuhnya hatiku saat tahu bahwa kau adalah lelaki yang sederhana dan teramat istimewa untukku. Kau mengajarkanku untuk membantu anak-anak panti dan menolong mereka agar tetap tegar tanpa mendapatkan kasih sayang orang tua. Itulah yang selalu kau lakukan untuk mereka. Terlalu cepat bagiku untuk menafsirkan hal yang salah tentangmu.
Senyum yang selalu kau lontarkan kepada mereka telah menghanyutkan alam bawah sadarku. Kini aku telah menjadi bagian dari kehidupanmu yang tak pernah kubayangkan bisa menjadi sosok ibu dari puluhan anak yang mungkin saja tidak terlalu jauh usianya denganku.
Hanya dua bulan perjalanan kisah kasih yang baru kita mulai. Tapi, aku sudah mengenal sosok dirimu yang sebenarnya. Sosok lelaki yang berhati mulia. Tak ada lagi keraguan tentangmu. Semuanya sudah dapat kupahami. Yah, tentangmu. Bukan tentang mereka. Tidak akan kubiarkan mataku lepas dari keceriaan yang sedang terjadi di hadapanku. Berlari kecil di lapangan yang tak begitu lebar, membuat duka mereka hilang. Semua itu karena kamu. Kau yang mencairkan semua duka yang pernah beku.

Minggu 16 agustus 2008
Perjalanan waktu itu sebenarnya diawali oleh kegundahanku menjelang tidur. Tidurku terganggu memikirkan betapa banyaknya tugas yang menumpuk. Lain lagi kegiatan keorganisasian yang harus kulakukan. Kegiatan yang rutin kulaksanakan satu harian. Hingga Tak ada waktu untuk menemuimu. Karena itu, kuawali perjalananku.
Gemerlap malam begitu ramai. Teriakan bocah-bocah bahkan orang dewasa juga terdengar jelas di telingaku. Suara terompet terus berkumandang di berbagai arah. Lain lagi suara lalu lalang kendaraan yang terus becengkrama dengan kegelapan malam membuatku sedikit penat. Ah, kenapa aku sama sekali tidak merasakan kebahagiaan malam ini? Bisikku dalam hati. Aku terus berjalan menelusuri keramaian. Kau adalah tujuanku yang pertama. Ninja besi yang kunaiki kini mulai mendarat di halaman yang indah. Kau ternyata sedang berdiri dan bermain dengan bocah-bocah yang lucu. Dan kau masih belum menoleh kearahku, mungkin saat itu kau tidak tahu tentang kedatanganku. Aku turun dari kereta yang kunaiki untuk menghampirimu . yah, lagi-lagi kau terkejut dengan keberadaanku secara tiba-tiba, tanpa memberi tahumu terlebih dahulu. Tapi, senyummu tetap berkibar untukku.
Ini pertama kali kita merayakan malam tujuh belasan bersama. Rasa penat yang menggerogoti tubuhku kini telah hilang. Itu semua karena mu. Karena kau yang bisa menghilangkan semua kegundahanku. Berkeliling di keramaian kota, mencari angin malam untuk menikmati teriakan terompet dan kembang api yang terus terbang kelangit hitam. Indah. Karena kau ada di sampingku dan menemaniku menikmati keramaian malam. Hingga tak kusadari malam kali ini telah merambat subuh. Hawa semangkin sejuk. Suara alarm ayam di pagi ini sudah terlantun dan tentunya menghantarkanku kembali untuk melanjutkan tidurku yang tertunda karena menghabiskan waktu denganmu.

Senin, 29 september 2008
”kita putus...!”.
Serrrr... dadaku berdetak tak berarah. Itu kalimat yang kau ucapkan saat meneleponku. Sejenak aku terdiam memikirkan perkataanmu yang tak kuketahui penyebabnya. Dengan nada getir aku mencoba menanyakan alasanmu. Tapi, kau tidak memberikan jawaban apa pun. Aku masih dalam kebingungan. Tak tahu harus berbuat apa. Saat itu kau berada di padang. Ingin aku menanyakan secara langsung, tapi itu tidak mungkin karena kita sedang berada di kota yang berbeda.
Sebenarnya apa yang terjadi denganmu di sana?. Tak ada jawaban yang pasti yang kudapatkan. Yang kudengar, hanya kata putus. Itu saja. Kau tak menghiraukan suaraku lagi setelah kalimat itu terucap dari mulutmu. Duh, bila ingat hal itu, ada rasa pedih di hatiku. Andai saat itu kau tidak mengatakan kalimat yang tidak kuinginkan dari pertama kali bertemu, pasti hatiku baik-baik saja.
Aku tak memungkiri terkadang kekalutanku suka muncul. Aku sering marah-marah tak karuan, aku sering menangis dimalam hari, dan ada kebencian yang tiba-tiba muncul padamu jika ingat saat kau mengatakan kalimat yang membuatku risih dan jijik.
Ketegangan kita mulai mencair saat kau kembali ke kota kelahiranmu. Aku tak henti-hentinya meminta penjelasan padamu. Dan akhirnya kau bosan dan menjelaskan penyebabnya kepadaku.
Sedikit ada rasa kekecewaan padamu. Disaat kau membutuhkan seseorang untuk memberikanmu semangat, tapi kau malah mengusirku dari kehidupanmu. Sakit teramat sakit. Tapi aku mencoba untuk kuat dan berusaha untuk menyakinkanmu, bahwa aku akan tetap ada untukmu meski penyakit yang kau derita terus menguasai seluruh tubuhmu. Kau adalah mutiara yang menghiasi hatiku. Maka tak akan kubiarkan kau layu dan terhapus dari hatiku. Kau harus tetap menjadi hiasan terindah untukku.

Selasa, 13 oktober 2008
Cahaya mentari terasa hangat menyelimuti pertamanan kembang yang asri pada awal pagi. beberapa perawat wanita berbaur diantara pasien-pasien rumah sakit. Di situlah kau dirawat sudah tiga hari. Tapi, sampai sekarang kau belum juga membuka kedua matamu untuk melihatku. Bahkan untuk melihat orang-orang yang kau cintai sekalipun. Kau masih saja terlelap seperti bayi mungil. Tidur bersama mimpi-mimpi indah dan menghantarkanmu kedalam kedamaian.
Kala itu kau masih terlihat waras. Mengingat betul siapa perempuan paruh baya yang sedang berdiri disamping yang selalu setia menemanimu Siang maupun malam. Hanya kau yang selalu ditatapnya. Tangis seorang ibu yang tak henti-henti mendoakanmu agar tetap tegar dan kuat. Tapi, sekarang kau hanya diam tanpa kata. Bukan bisu. Entah apa yang sedang kau rasakan. Kau masih diam dalam keperihan yang amat dalam. Ah,aku tak sanggup bila mengingat itu lagi. Aku tak kuat. Aku takut dalam keterpurukan dan ketakutan. Takut akan kehilanganmu. Aku belum sanggup bila hal itu terjadi. Hanya kau yang membuat hidupku menjadi hidup. Seperti kalimat yang pernah kau ucapkan pertama kali padaku.
Andai saja kau tak menderita penyakit leukimia, mungkin saat ini kita berada dalam ketenangan yang saling berbagi baik suka maupun duka. Tapi, kini semua itu tak ada lagi. Itu semua hanya tinggal kenangan dan harapan agar kau mendapat mukjizat dari tuhan.

Jumat, 24 oktober 2008
Hitam. Semuanya berwarna hitam. Sunyi, tak ada suara yang menggelegak di ruangan ini. Hanya ada suara tangis terisak-isak dan meraung-raung. Wajahmu pucat pasi, putih bagaikan kapas. Bibirmu terus terkatup tak ada sepatah kata pun yang terucap. Dingin. Semuanya dingin. Bukan hawa sejuk yang menampar tubuhmu. Tapi, jiwamu yang membutuhkan kesejukan untuk tetap tidur lelap dibalik kain putih yang menutupi seluruh tubuhmu.
Semua telah hilang. Jiwa, raga, bahkan hatimu juga telah hilang. Kini hanya aku yang akan menyimpan hatimu untuk tetap bersinar dihatiku. Di mataku yang terbayang sekarang hanya ada satu. Itulah kau. Selama jantungku berdegup. Degupan sepanas api. Yang setia membisikkan bayang wajahmu disetiap detakan jantungku.
Kini kau telah terbang dengan kain putih. Kebesaran orang-orang yang berada di alam berbeda. Meninggi dan kian meninggi, dengan tangis berpeluh gerai senyum yang tak lagi terkembang dariku.

cerpen: Nina


BUKAN MAUNYA KARSO

Oleh: Nina Sri Maria

Mempertahanan hidup memang sulit. Bertahan dalam kejamnya suasana sosial kini tak gampang. Kebobrokan moral yang telah jadi trend masa kini, hingga butir-butir kemanusiaan seakan terhapus dalam silsilah kenormaan. Bukan hanya moral saja yang telah langka. Tapi sumber penghidupan pun telah payah ditemui, dikerjakan, apalagi untuk dicintai.

Sumber dari jalan hidup. Saat ini memang ibarat mencari sebuah intan di empang. Ketika hendak diambil yang dapat hanya lumpur dasarnya saja.

Mentari begitu hangat menyapa dedaunan yang masih basah karena embun. Cahaya telah menyibakkan gelap malam yang indah. Yang segelap kehidupan sebuah keluarga kecil. Tapi gelapnya kehidupan mereka tak seidah gelap malam yang dapat menyingkirkan kagalauan di siang hari.

Sang ibu, di pagi hari disibukkan untuk membuat sarapan pagi, sangat seadanya. Yang ada untuk dimasaknya hanya nasi dan daun singkong yang dipetik di halaman belakang rumah. Miris sekali hati ibu itu menatap masakan yang ia siapkan itu, namun apalagi yang bisa dimasaknya seain itu. Setelah selesai menyiapkan sarapan , ia pun mulai meracik bumbu untuk berjualan si Bapak sore harinya.

“Bu hanya ini sarapan kita?” tanya Nur, anak sulung di rumah itu. Si ibu hanya menatapnya tanpa menjawab pertanyaan anaknya. Nur pun menundukkan kepalanya sembari duduk di kursi kayu yang terlihat lapuk. Tak lama Iman, adik Nur keluar kamar dan ikut sarapan bersama kakaknya.

“Kalau sudah siap sarapannya, langsung berangkat kesekolah ya…” ujar Bu Lastri, ibu dari ke dua bocah tadi.

“Ya bu…”

Tak lama si Bapak keluar dari kamar mandi dan ikut serta bersama putera-puterinya.

“Ini uang jajan kalian,” kata si Bapak sambil menyodorkan beberapa lembaran uang kertas.

“Tapi pak, kan sudah Iman bilang semalam, kalau Iman harus beli buku. Masa bapak lupa?”

“Kan sudah bapak bilang, bapak belum punya uang!” ujar si Bapak membentak

“Tapi pak.”

“Sudahlah Nur berangkat sana, nanti kalian lerlambat,” perintah ibu menengahi.

Nur dan Iman berangkat kesekolah berjalan kaki. Pak Karso mulai naik pitam, kini dia agak tempramen. Padahal dulunya ia adalah seorang bapak yang sabar dan lembut kepada anak-anaknya.

Mbok ya sabar pak. Gak usah marah-marah sama anak. Kasian mereka.”

“Pusing saya buk! Pusing!” pak Karso tampak stress

“Ya tapi kan kasian anak-anak mereka gak tahu apa-apa,” ujar Bu Lastri mencoba menenangkan hati suaminya itu.

“Ibu bisa bilang tenang. Tapi ibu gak tahu kan bagaimana memikirkan semua ini?” pak Karso mulai tenang, mungkin karena ia kini juga murah pasrah pada keadaan.

“Pak, ibu juga pusing kalau terus-terusan memikirkan ini, bapak kira ibu gak stress? Mau masak gak ada apa-apa. Semuanya habis.” Sejenak suasana membisu

“Maafin bapak ya bu…”

“Iya pak! Yang penting sekarang kita harus terus berusaha bagaimana caranya agar kita punya uang lagi. Mau ngutang sudah gak mungkin pak.”

“Kenapa gak mungkin bu?”

“Hutang kita sudah banyak pak. Di warung, juga sama para tetangga. Sudah tak mungkin kita hutang pada mereka. Tak mugkin mereka mau pak.”

Pak Karso menghela nafas panjang. Dadanya seperti sesak, baginya semua susah. Sehingga untuk bernafas lega saja susah sekali. Kemiskinan benar-benar telah menjerat keluarganya. Statusnya sebagai tukang sol sepatu di pagi hari dan sorenya sebagai seoarang pedagang bakso keliling sungguh membuat ia resah. Terkadang ia berpikir ini cobaan atau benar Tuhan tak mau peduli dengan nasib keluarganya.

***

Sepulangnya pak Karso dari pasar. Ia bermaksud berjualan bakso keliling tapi yang ia lihat gerobak baksonya masih terparkir di samping rumah, padahal biasanya jam segini sudah siap.

“Bu, kok balum siap-siap? Gerobaknya kok masih di samping?” tanya pak Karso sambil meletakkan peralatan solnya di rak

“Apa yang mau kita jual pak?”

“Maksud ibu apa?

“Iya pak, apa yang mau kita jual? Modal kita sudah habis untuk membayar uang kontrakan rumah ini. Bapak taukan?”

“Kenapa ibu bayarkan?”

“Bagaimana gak ibu bayarkan. Dari pada kita disuruh angkat kaki dari rumah ini.”

Pak Karso menyandarkan tubuhnya di dinding pintu yang terlihat bolong-bolong munkin karena dimakan rayap

“Itu pun kita masih nunggak dua bulan lagi pak…” keluh Bu Lastri yang mulai ikut-ikutan tak tahan lagi

“Jadi?”

“Jadi apa pak? Bapak hari ini dapat uang berapa?” Pak Karso hanya menggeleng.

“Lagi-lagi tak ada order ya pak? Kok seperti ini sih pak nasib kita…” Bu Lastri nyatanya hampir tak sanggup lagi untuk menitihkan air mata. Pedih begitu bersarang dalam batinnya. Ia tak pernah meminta hidupnya begini, saat awal menikah dulu, Pak Karso dan Bu Lastri membayangkan hidupnya akan bahagia dan berkecukupan, ternyata salah, semua hanya mimpi pengantin baru saja.

Buk Lastri coba mendatangi ke warung sebelah untuk mengutang beras buat mengisi lambung yang tak kuasa ditahan lagi. mungkin hanya itu yang dapat di lakukanya, sebenarnya ia tak mau begitu, tapi ya… karena ia sudah benar-benar sudah tak punya uang lagi buat membelinya. Tapi apa yang didapat bu Lastri, hanya amarah da cibiran dari si pemilik warung.

“Buk Lastri… hutang ibu itu di sini sudah sangat banyak. Belum ibu bayar, ini mau ngutang lagi!”

“Tapi bu saya butuh untuk makan anak-anak. Saya tidak punya uang lagi.”

“Kalau tidak punya uang ya sudah, makanya ibu tu bekerja!”

“Tapi bu…”

“Maaf bu tempat lain saja…”

Buk Lastri pergi tanpa mendapatkan apa-apa. Hatinya gusar, karena Nur terlihat pucat akhir-akhir ini ia sering muntah-muntah dan pusing. Ia takut terjadi apa-apa sama puterinya itu yang kini mulai branjak dewasa. Ia dan suaminya bermaksud memeriksakan Nur ke rumah sakit. Tapi boro-boro kerumah sakit, untuk makan sehari-hari saja kini sangat sulit. Mereka juga berusaha mencari pinjaman sama tetangga, terutama pak Haji tetapi tak seorang pun yang memberinya.

Kemelaratan telah mencekik leher keluarga ini. Pak Karso tak lagi berjualan bakso. Kini ia hanya bekerja sebagai tukang sol sepatu. Tak seberapa hasilya, bahkan bisa dalam satu hari tidak mendapatkan apa-apa.. keputusasaan pun melanda sepasang suami-isteri ini. Buk Lasri telah berusaha mencari pekrjaan sebagai tukang cuci, tapi tak seorang pun dari tetangganya yang mau mempekerjakannya, mugkin karena tetangganya sudah pakai mesin untuk mencuci. Segala daya upaya telah mereka lakukan. Tapi mengapa rupiah begitu sulit sekali didapat. Inikah hidup sebenarnya? Merasakan kepahitan terus berkepanjangan dan semakin parah pula dari hari kehari. Entah harus kemana lagi mereka mencari uang sedangkan Nur terlihat tambah parah, tapi tak satu pun dari tetangga yang iba melihat mereka

***

Selama seminggu ini, kampung Suka Damai digegerkan dengan kabar, ada maling jagung. Kebun jagung milik Pak Haji Romli, kabarnya setiap malam disatroni maling. Karena dirasa Pak Haji jagung miliknya tiap malam terus berkurang. Kampung itu menjadi heboh, menurut warga kampung mereka selalu aman dan damai jauh dari kerusuhan apalagi kemalingan seperti ini. Ini benar-benar mengejutkan mereka.

Kebun jagung seluas dua hektar itu, ditanami jagung, kacang tanah, sayur-sayuran, pisang, dan cabai. Haji Romli yang dikenal pelit, tidak terima jagungnya dicuri orang. Jangankan Pak Haji yang amat pelit, orang yang tidak pelit saja juga pasti akan tidak terima kalau barang miliknya diambil orang tanpa permisi. Memang dalam semalam jagung yang dicuri tak sebarapa, namun karena dilakukan hampir tiap malam jadinya cukup banyak jagung yang hilang sebelum dipanen..

Di rumah saat Nur baru pulang dari sekolah, ia menceritakan apa yang ia dengar ketika di jalan mau pulang.

“Bu di rumah Pak Haji ramai sekali. Orang-orang pada heboh.”

“Ada apa rupanya di rumah Pak Haji?”

“Katanya ada maling di kebun Pak Haji.”

Bu Lastri menatap wajah Nur, ia terlihat sedikit pucat. “Kenapa bu?”

“Ah…eng…enggak… ya sudah sana ganti baju terus langsung makan siang,”

Tak lama Pak Karso juga pulang, sama seperti Nur, ia pun membawa berita itu juga. Bu Lastri dan Pak Karso saling melemparkan pandangan, mereka tampak bingung mungkin karena selama ini kampungnya selalu aman.

Malam kian larut, dingin malam kian menusuk. Hening benar-benar terasa terutama di rumah Pak Karso, yang beralaskan tanah liat, berdindingkan anyaman bambo, serta atap rumah bukan lah genteng. Tambah akrablah dingin itu sama keluarga ini. Tiba-tiba suasana hening terpecah oleh teriakan dari warga. Teriakan “Maling” jelas menyeruak di malam itu. Ternyata itu karena warga telah menunggu maling jagung itu, dan hendak menangkapnya. Tapi maling itu dapat meloloskan diri dari kejaran masa.

Paginya suasana lebih heboh dari kemarin. Tiap warga berasumsi. Ada yang bilang inilah-itulah, macam-macamlah, bahkan ada yang bilang “Wajarlah Pak Haji kemalingan wong jadi orang kaya kok pelit amat.”

“Pak Karso kok tadi malam tidak ikut pengejaran?” tanya Pak Bejo, ketika Pak Karso memperbaiki sepatunya di teras rumahnya.

“Keluar? Ada apa rupanya pak?” Tanya Pak Karso bingung

“Wah… Pak Karso ketinggalan info toh?”

“Info?”

“Kan tadi malam kita semua pada ngejar maling jagungnya Pak Haji.”

“O… saya gak tahu pak. Tadi malam saya tidurnya nyenyak sekali. Habisnya saya capek pak, maklumlah kerjanya terus keliling.”

“Tapi benar juga Pak Haji kemalingan, hitung-hitung beramal,” kelakar Pak Bejo

“Ah… Pak Bejo bias saja.”

Di rumah yang sangat sederhana, Pak Karso beristirahat, rebahan di kasur yang keras, melepaskan lelah yang menggandoli tubuh cekingnya itu. Tiba-tiba Iman datang

“Pak…pak…! Kak Nur Pak…! Kak Nur..,” ujar Iman panic

“Kenapa kakakmu?”

“Kakak itu pak pingsan di dapur…”

Pak Karso lansung bergerak mengejar puterinya yang tergeletak di dapur, dengan hidungnya mengeluarkan darah.

“Bangun nak…. Kamu kenapa? Gusti… kenapa anak ku….” Jerit Pak Karso saat memangku Nur

Pak Karso membawa Nur ke Bidan desa

“Bu, bagaimana keadaan puteri saya?” Tanya Pak Karso sambil mendekap isteri dan anaknya

“Untuk kepastian Nur sakit apa. Saya belum tahu karena alat yang saya punya tidak lengkap. Lebih baik bawa dia kerumah sakit saja,” jawab Bu Bidan

“Kerumah sakit?”

“Agar kita tahu apa penyakit Nur sebenarnya, saya khawatir penyakitnya serius. Supaya dapat ditangani dengan tepat.”

“Tapi saya tidak punya biaya bu.”

“Bapak kan bisa mengurus surat ASKIN dari Pak Lurah. Nanti biar saya yang merekomendasikan ke rumah sakit di kota.”

“Baik Bu…”

Pak Karso mencoba mengurusnya, tapi tetap saja perlu waktu untuk prosedur. Dia mencoba minjam uang sama Pak Haji, lagi-lagi hanya tangan kosong yang dibawanya pulang. Pak haji tak sudi meminjamkan uangnya padahal itu untuk berobat tetapi memang dasar Pak Hajinya yang pelit.

Malam ini orang-orang suruhan Pak Haji mengintip kebunya, tapi sudah dutunggu sampai hamper subuh, si maling tidak menampakkan batang hidungnya. Mungkin si maling sudah tahu kalau kebun itu malamnya sudah diintip.

***

Karena beberapa malam kebun itu dijaga, si maling pun tak beroperasi juga. Jadi malam jumat itu tak dijaga karena sudah capai dijaga tappi tuh maling tak nongol juga. Tapi malah jumat paginya jadi heboh, lagi-lagi Pak Haji kebobolan. Pencuri yang hebat, dia bisa tahu kapan kebun itu dijaga dan kapan tidak dijaga.

Jelas saja orang saling tuduh. Ada yang bilang itu pasti orang desa sendiri. Karena sungguh tak mungkin dia bisa tahu kalau malam itu tidak ada yang menjaga.

Pak Karso dan Bu Lastri tak larut dalam kehebohan itu, mereka lebih memilih untuk semakin giat mencari uang dan mengusahakan perobatan Nur.

Esok malamnya ladang itu sengaja tak dijaga. Untuk memancing pencuri itu agar datang lagi. Memang benar, pencuri itu tahu bahwa tidak ada orang yang menjaga. Dan esoknya Pak Haji tidak menggembar-gemborkan masalah itu ke khalayak, karena ia curiga kalau pencuri itu orang kampung itu sendiri. Jadi ia menyusun rencana supaya pencuri itu datang ketika orang suruhannya berjaga. Tepat sekali, pas orang-orang Pak Haji mengintip. Maling itu datang, kali ini maling itu salah strategi. malingnya pun terdiri dari dua orang, kelihatanya mereka sepasang lelaki dan perempuan. Saat maling itu asyik memanen jagung, pasukan penggerebek langsung menyerbu. Tak dapat mengelak, karena yang menggerebek bukan hanya orang-orang Pak Haji, tapi juga warga yang geram.

Pencuri itu tak dapat melarikan diri, mereka terjebak dikepungan orang-orang. Warga memukuli mereka dengan balok, bahkan ada ada yang menyabet dengan sabit. Anarkis memang sangat. Setelah mereka puas menghajar ke dua maling itu hingga berlumuran darah , mereka pun membuka penutup wajah itu, apa yang didapati? Sungguh warga tek menyangka, sepasang suami-isteri yang dikenal tak banyak ulah dan santun, nekad menjadi maling.

Maling itu habis babak belur. Karena sudah tahu siapa malingnya dan mereka pun iba, akhirnya mereka langsung membawa sepasang maling itu ke rumah sakit. Yang ada kepala meling laki-lakinya harus mendapat banyak jahitan, sedangkan yang perempuan tangan dan kakinya harus di gips karena lengannya kena sabetan sabit salah seorang warga yang ikut mengeroyok. Dan kakinya kena pukulan balok.

Maling laki-laki harus mendekam di sel, sedangkan yang wanita harus dirawat intensif di rumah sakit.

Padahal paginya sepasang maling itu harus membawa Nur kerumah sakit untuk berobat karena ASKIN yang mereka urus sudah selesai. Memang benar Nur ke rumah sakit, tapi bukan untuk berobat melainkan untuk melihat keadaan ibunya yang koma di rumah sakit.

Di ruang tempat ibu mereka dirawat, Nur dan Iman hanya dapat menangisi nasib ibunya. Mereka tak menyangka kalau orang tuanya akan berbuat senekad itu demi anak-anaknya.

Setelah melihat ibunya, mereka bergegas menjenguk ayahnya di rumah tahanan.

“Maafi bapak ya nak… bapak gak pantas menjadi bapak kalian…”

“Bapak gak salah kok… Nur dan Iman sayang sama bapak dan ibu..” ujarnya menenangkan hati bapaknya dan larut dalam pelukannya.

“Bagaimana ibumu?” tanyanya sambil memangku Iman

“ Ibu nasih belum sadar pak.”

Perkataan Nur membuat hati Pak Karso bertambah perih. Sebagai seorang suami dan ayah buat isteri dan anak-anaknya. Ia tidak dapat membahagiakan mereka yang sangat ia sayangi.

Miris hatinya membayangkan ini. Kini hanya penyesalan yang menggumpal di dadanya. Ia merasa kesal atas nasib yang menggiringnya kini.

Ranah Kompak

logo KOMPAK

logo KOMPAK

Serambi KOMPAK

SEKILAS TENTANG KOMUNITAS PENULIS ANAK KAMPUS (KOMPAK) A. Sejarah Singkat Kelahiran KOMPAK Pada awalnya salah seorang aktivis lembaga kampus yaitu Dani Sukma Agus Setiawan (mahasiswa UNIMED) mempunyai gagasan untuk membentuk sebuah wadah intrakampus yang berkonsentrasi penuh pada ranah kepenulisan. Gagasan tersebut mendapat sambutan hangat dari Rudi Hartono Saragih (mahasiswa Universitas Negeri Medan), Sri Rizki Handayani dan Budianto (mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara). Karena wadah ini merupakan kumpulan dari beberapa kampus, maka keempat pemrakarsa sepakat memberikan nama KOMPAK (Komunitas Penulis Anak Kampus) pada wadah tersebut. Keempat pemrakarsa juga sepakat member nama pada tim mereka dengan sebutan Catur Karya. Kata “catur” berarti empat, sedangkan “karya” merupakan mencipta atau menghasilkan sesuatu. Jadi catur karya bermankna empat orang yang mencipta atau menghasilkan sesuatu. Catur karya bekerja sama dan sama-sama bekerja menyatukan gagasan-gagasan selektifitas. Setelah melalui musyawarah panjang berdasarkan pemikiran-pemikiran dari catur karya, maka Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) dideklarasikan atau resmi dibentuk pada tanggal 23 Desember 2008 bertepatan tanggal di gedung Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Kronologis Kelahiran KOMPAK Dilihat dari segi kronologis sejarah kelahiran KOMPAK, tidak terlepas dari tuntutan menumbuhkembangkan aspek keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Menumbuhkembangkan budaya menulis merupakan aspek yang seharusnya melekat dalam diri mahasiswa. Namun dilematisnya sering sekali budaya menulis hanya sebagai rutinitas memburu gelar akademik semata. Dengan kata lain wabah menulis yang menjangkiti paradigma berpikir seorang mahasiswa hanya demam S.Pd (sarjana Pendidikan) yang begitu kronis untuk diobati. Bukan bermaksud menaifkan gelar, tetapi alangkah baiknya jika gelar itu ditunjang dengan keterampilan menulis. Untuk mampu menulis mahasiswa harus sering menyimak informasi, membaca beberapa referensi dan bertukar fikiran dengan orang lain. Artinya dengan menulis seorang mahasiswa akan berpengetahuan luas dan wajib bagi mahasiswa untuk meningkatkan wawasannya. Oleh karena itulah catur karya termotivasi untuk membentuk wadah kepenulisan guna menumbuhkembangkan budaya menulis. Jadi sebagai mahasiswa kita harus mencatat sejarah. Karena, sejarah tidak akan pernah mencatat dirinya sendiri jika kita tidak pernah mencatatnya. B. Azas, Sifat, dan Tujuan Umum a. Azas Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) berasaskan Pancasila b. Sifat KOMPAK adalah organisasi kemahasiswaan yang bersifat independen, ilmiah serta professional yang berorientasi pada kemajuan, keahlian dan peningkatan potensi penulisan. c. Tujuan KOMPAK bertujuan untuk melahirkan profesionalitas dan karakter penulis yang handal, memiliki dedikasi yang tinggi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dari aspek kepenulisan serta untuk memasyarakatkan karya melalui media massa. C. Visi dan Misi KOMPAK a. Visi Pengembangan sastra Indonesia dalam pembangunan bangsa. b. Misi 1. Mempercepat silaturrahmi antar pelaku seni 2. Mengoptimalkan pola berpikir, berperilaku dan berbudaya sastra melalui pelatihan 3. Memaksimalkan pengiriman karya ke media massa secara lebih aktif 4. Mengaplikasikan karya dalam bentuk seni pertunjukan 5. Menerbitkan buku sastra D. Kepemimpinan dan Keanggotaan KOMPAK a. Kepemimpinan 1. Diangkat melalui forum permusyawaratan resmi untuk masa jabatan tertentu 2. Bersifat demokratis dan religious serta memiliki loyalitas dan dedikasi atas tugas dan tanggung jawab b. Keanggotaan 1. Terdiri dari mahasiswa yang memiliki visi dan misi yang sama dengan KOMPAK 2. Diatur dengan system administrasi tertentu 3. Masa aktif keanggotaan 2 tahun setelah selesai studi 4. Pelatihan dan pengembangan anggota merupakan sasaran dan prioritas utama aktivitas KOMPAK E. Pengambilan Keputusan 1. Keputusan hanya dapat dilakukan melalui musyawarah resmi 2. Keputusan yang menyangkut teknis operasional dan hal-hal yang insidentil dapat diambil oleh unsure pimpinan tertentu. F. Struktur Organisasi KOMPAK Struktur organisasi KOMPAK terdiri atas Penasehat, Pembina, Ketua Umum, wakil Ketua, Sekretaris Umum, Wakil Sekretaris, Bendahara dan beberapa Koordinator.