Minggu, 20 Desember 2009



“UNTAIAN MUTIARA YANG TERLEPAS”

Oleh: Wahyu Wiji Astuti

Sore itu, selepas shalat Ashar, Ayah memanggil Muti. Ada yang ingin disampaikannya kepada anak gadis kesayangannya itu. Sudah lama sekali ia ingin menyampaikan hal itu. Tapi Muti selalu saja menghindar ketika ia ingin membicarakannya. Istrinya yang sejak siang tadi pergi ke rumah anak pertamanya belum juga pulang. Muti datang membawa secangkir teh hangat, lalu duduk di depan Ayahnya. Wajahnya manis, airmukanya sendu. Tak berlama-lama Ayah membuka pembicaraan.

“Nak, kau tak bisa menunggu terlalu lama. Sejak kau tamat dari sekolah, Ayahmu ini sudah ditanyai soal kau. Maksud Ayah, ada yang ingin melamarmu. Tapi Ayah tak ingin menjodohkan kau dengan orang yang bukan pilihanmu sendiri, lagipula ketika itu kau masih terlalu muda, Ayah juga ingin kau menjadi seorang sarjana baru menikah.” Ayah memadamkan sisa api rokok yang baru terbakar separuhnya. Lalu dia melanjutkan ucapannya sementara Muti, anak gadisnya hanya tertunduk mendengarkan kata-kata Ayahnya. Sudah biasa Ayah menasehatinya perihal pendamping hidup, ia hanya mendengarkan dengan patuh. Lalu Ayah melanjutkan ucapannya.

“Ayah senang jika kau telah menemukan pria pilihanmu sendiri. Tapi setiap kali Ayah membicarakan pernikahan, kau selalu menundanya dengan mengatakan ingin membahagiakan Ibu dan Ayahmu. Asalkan kau tahu, anakku, Ayah dan Ibumu sekarang bahagia sekali karena kau sudah lulus jadi sarjana, dan cita-citamu menjadi seorang pendidik pun sudah tercapai. Bukankah begitu, Muti?”

“Ya, Ayah…”

“Nah, kalau begitu bukankah sudah saatnya kau mewujudkan cita-cita Ayah pula, yang sejak dulu Ayah sampaikan kepadamu? Ketika selesai S1 kau meminta Ayah menunda cita-cita Ayah dengan menguliahkanmu S2, dan sebentar lagi kau wisuda. Lantas mengapa kau menundanya lagi?”

“Maafkan Muti, Ayah, tapi Muti ingin melanjutkan S3.”

“Muti, Ayah senang kau memiliki cita-cita yang tinggi, Ayah tidak pernah melarangmu melanjutkan sekolah. Tapi bukankah kuliah bisa kau jalani setelah menikah? Nak, Ayah tahu itu bukan satu-satunya alasanmu menolak pernikahan. Kau ingin menunggu Wisnu kan?” Ayah memandangi Mutiara seakan mencari kejujuran di bola mata anak gadisnya. Namun Muti semakin menunduk di bawah sorot tajam Ayah.

“Kau sudah menunggunya terlalu lama, apa yang membuatmu begitu menginginkannya menjadi suamimu? Ayah bukannya ingin memaksakan kehendak Ayah, tapi Ayah ingin kau mendapatkan yang terbaik. Jika saja yang kau tunggu itu adalah pria yang tepat, Ayah mungkin mengizinkanmu.”

“Wisnu yang terbaik buat Muti, Yah…. Dulu Ayah menyetujui hubungan kami, tapi kenapa sekarang Ayah….” Desahnya tanpa meneruskan kata.

“Memang dia berasal dari keluarga yang baik dan berada, tidak seperti kita yang hanya hidup sebatas cukup. Tapi Ayah tak suka, kuliahnya S1 saja tak selesai-selesai. Untuk menanggungjawabi dirinya sendiri saja dia tak bisa, bagaimana dia bisa menanggungjawabi orang lain? Kau itu anak perempuan Ayah satu-satunya. Kedua Abangmu telah menikah. Ayah tidak ingin kau salah pilih.”

“Muti mencintai Wisnu. Ayah tahu kan, kami sudah berpacaran sejak kelas 2 SMA hingga sekarang. Kami saling mencintai.”

“Tidak, nak. Ayah merasa dia tak benar-benar mencintaimu. Dia tak pernah datang ke rumah sakit menjengukmu ketika kau sakit waktu itu, padahal waktu itu kau sakit hingga hampir tiga minggu. Lalu mengapa dia tak pernah membahagiakanmu? Hanya masalah, masalah dan kesedihan yang dia limpahkan padamu. Orangtua mana yang rela menyerahkan anaknya pada lelaki seperti itu? Ayah ingin kau menikah dengan Rahmat, dia lebih pantas untukmu. Kau pertimbangkan kata-kata Ayah.”

“Tapi, Wisnu….”

“Bilang padanya, jika dia benar-benar mencintaimu, datanglah bersama orangtuanya sebelum kau wisuda. Jika tidak, Ayah akan menjodohkanmu dengan Rahmat.”

Ultimatum ayahnya terasa amat menyesakkan. Kali ini ia tahu ayah tak main-main, sebab telah lama ayah bersabar dengan semua penantian dan harapan yang tak jua bertepi.

***

Muti tengah termenung di dalam kamarnya ketika Ibu masuk dan sapaannya membuyarkan lamunannya sejenak.

“Belum tidur, nduk?”

“Belum, Bu.”

Suasana sejenak hening. Ibu mendekati Muti yang sedang duduk di meja belajarnya sembari memandangi foto wisuda sarjananya tempo hari. Dibelainya rambut anak gadisnya, lantas bertanya lagi.

“Kenapa? Dari tadi kamu memandangi foto itu, tapi wajahmu sedih. Ada apa?”

“Muti bingung, Bu”

“Bingung kenapa?”

“Tadi sore Ayah mengatakan langsung padaku akan menjodohkan aku dengan Rahmat jika keluarga Wisnu tidak datang sebelum aku wisuda. Ibu tahu kan, tak sampai dua bulan lagi aku wisuda S2. Bagaimana caranya aku mengatakan hal ini pada Wisnu? Tidak pantas rasanya jika aku meminta pada Wisnu untuk meminangku, aku tak bisa mengatakan hal itu padanya. Lagipula aku khawatir dia tak bisa melakukannya. Kenapa Ayah begitu tega memberikan ultimatum seperti itu padaku.”

“Muti, Ayahmu hanya menginginkan yang terbaik untukmu. Sudah terlalu lama ayah menunggu. Ia ingin sekali melihatmu menikah. Agar ada pria yang menjagamu, menanggungjawabimu. Akan sampai kapan kami bisa menjagamu, anakku. Kau tahu kini semakin senja usia orangtuamu. Tidakkah terbayangkan olehmu betapa kecewanya kami jika Tuhan menjemput sebelum kami menyaksikanmu hidup bahagia bersama pria yang halal bagimu?”

“Kenapa Ibu berkata seperti itu?”

“Ya, lagipula sudah pantas usiamu untuk menikah.”

“Tapi Bu, Wisnu tidak bisa menikah sebelum dia menamatkan S1 nya.”

“Itulah yang Ibu fikirkan. Kalian tamat sekolah bersama-sama, tapi dua tahun dia menyia-nyiakan masa kuliahnya. Kini jenjang pendidikan kalian menjadi tak setingkat. Apa kau tak pernah mempertimbangkan hal itu?”

“Bu, aku tidak peduli akan hal itu. Aku mencintainya bukan karena apa-apa, yang ku tahu aku mencintainya karena aku mencintainya. Dan aku akan menerima Wisnu apa adanya.”

“Nduk, begitu besar rasa cintamu padanya, tapi apa kau yakin Wisnu juga mencintaimu sebesar rasa cintamu padanya?”

“Ya, tentu saja, Bu. Aku tahu dia sangat mencintaiku.”

“Jika begitu, kau sudah tahu jawabannya.”

Muti terdiam sejenak, lalu tersungging senyum di bibirnya. Di tatapnya mata Ibu penuh kasih. Sesaat kemudian dipeluknya Ibunya itu.

“Terima kasih, Bu.”

Malam itu Muti tertidur pulas, sudah disusunnya kata-kata yang tepat untuk membicarakan masalah ini pada Wisnu. Sungguh ia pun sebenarnya tak sabar untuk berumah tangga, apalagi usianya yang sudah matang bagi seorang wanita untuk menikah. Namun ia masih harus bersabar menunggu kekasihnya itu siap secara lahir bathin, siap secara moril dan materiil untuk menjadi seorang suami yang bertanggung jawab.

***

“Bagaimana?”

“Hhh…”

“Kenapa? Mama dan Papa tidak setuju?”

“Bukan, kamu tahu kan, sejak dulu Mama dan Papaku sangat sayang padamu. Betapa mereka mendambakanmu menjadi pendampingku. Bahkan sudah lama mereka mempersiapkan biaya untuk lamaranmu, juga untuk biaya pernikahan kita.”

“Lalu?”

“Aku, masalahnya adalah aku. Aku masih belum mampu menjadi suami yang bertanggung jawab. Orangtuaku tidak mengizinkan aku menikah sebelum tamat kuliah dan memiliki pekerjaan tetap.”

“Tapi Ayah tak memaksa kita menikah, hanya saja Ayah menginginkan kamu beserta orangtuamu datang ke rumah sebelum wisuda S2 ku.”

“Sama saja, sayang! Itulah maksud ayahmu!”

“Jadi?”

“Hhhh…”

“Kenapa lagi?”

“Apa kamu mencintai pria yang dijodohkan ayahmu?”

“Tidak. Aku hanya mencintaimu! Tak ada yang lain!”

“Tidakkah kamu berfikir, dia lebih baik daripada aku. Dia pria dewasa, tampan, sudah mapan, juga berpendidikan tinggi. Sangat sepadan untukmu. Kamu tidak akan kekurangan apapun jika bersuamikan dia.”

“Sudahlah, jangan berkata lagi. Kau pasti mengerti benar perasaanku padamu. Semua itu sudah tidak bisa ditawar lagi!”

“Tapi ini soal kehidupan! Kebahagiaanmu!”

“Aku mencintaimu! Aku menginginkanmu yang menjadi suamiku. Itu saja!”

“Sayang, sebenarnya ada rasa rendah diri di dalam hatiku. Kamu sebentar lagi bergelar Magister, sementara aku belum lagi menjadi sarjana. Aku minder sebagai seorang lelaki.”

“Astaghfirullah…, sungguh aku tidak mempermasalahkan itu. Berjanjilah tidak akan berkata seperti itu lagi. Sekali lagi aku katakan, bahwa aku hanya menginginkanmu!”

“Baiklah, akan kucoba membicarakannya lagi dengan orangtuaku. Aku akan datang bersama orangtuaku memohon pada ayahmu untuk bersedia menungguku satu tahun lagi sampai aku meraih sarjanaku.”

“Kapan?”

“Minggu depan. Aku pasti datang.”

***

Sedari tadi Muti berjalan mondar-mandir dengan wajah gelisah. Sesekali memencet handphone dan menaruhnya di telinga, berulang kali. Kegelisahannya terlukis di lekuk wajah dan sorot matanya, walaupun telah dibubuhi bedak dan meke up. Dia tengah menunggu tamu penting, hari ini akan menjadi hari yang bersejarah baginya, kebahagiaan layaknya yang dirasakan setiap wanita ketika dipersunting oleh seorang pria. Entah sudah berapa kali ia memandang ke luar jendela kamarnya. Menunggu orang yang begitu dinantikannya itu. Ya, malam ini akan dilaksanakan akad nikahnya.

Berkali-kali diliriknya jam dinding, sudah jam setengah sembilan malam. Akad nikah akan berlangsung jam sembilan. Setengah jam lagi. Tapi sungguh bukan itu yang membuat jantungnya berdebar-debar malam ini, dan bukan itu pula yang dinantikannya. Tapi ia tengah menunggu kekasihnya yang akan menjemputnya malam ini lewat jendela.

Tas yang berisi beberapa helai pakaian dan keperluan seadanya pun menjadi saksi atas aksi yang telah direncanakannya ini. Dua minggu yang lalu sudah berlangsung upacara pelantikan wisudanya. Beberapa waktu lalu ayah telah menerima lamaran pria yang akan menikahinya. Muti tidak setuju, namun tak mampu berbuat apa-apa. Akhirnya ia menyusun rencana untuk pergi bersama kekasihnya sebelum akad nikah berlangsung. Pukul delapan malam ia berjanji akan datang menjemput lewat jendela. Ini sudah hampir pukul sembilan. Sebentar lagi akan datang mempelai pria beserta keluarganya. Kecemasannya memuncak, apalagi tak jua diberi kabar lewat telepon genggamnya.

“Tok, tok…”

Tak lama ketukan halus terdengar dari arah jendela kamarnya. Sekejap gundahnya tersaput senyum tipis. Diraihnya tas yang tak seberapa besar ukurannya. Dibukanya jendela dengan amat perlahan. Hari ini ia ingin kabur, pemberontakan besar-besaran yang kali pertama dilakukannya pada orangtuanya. Namun ia amat terkejut sebab yang didapatinya di jendela bukanlah Wisnu kekasihnya, tetapi temannya dengan membawa sepucuk surat yang katanya dititipkan Wisnu untuknya, lalu orang itu pergi begitu saja dan menghilang di kegelapan.

Dibukanya dengan penuh was-was, begitu singkat tulisan yang ada di sana,

Teruntuk Mutiaraku,

Maafkan aku karena tidak menepati janji kita. Aku sangat mencintaimu, maka aku harus mengambil keputusan demi kebahagiaanmu. Sejak hari dimana Ayahandamu menolak permohonanku, aku tak lagi punya asa, namun aku tak pula ingin membuatmu jadi anak durhaka. Menikahlah dengannya, aku tak akan mengganggu hidupmu lagi. Aku sungguh tak bermaksud melukai dan menyakiti hati siapapun, terlebih hatimu. Tapi jika aku membawamu pergi malam ini, akan lebih banyak hati yang terlukai. Percayalah bahwa kau pasti akan bahagia dengannya.

Pria yang selalu mencintaimu,

Wisnu Fahrezi

Mutiara meneteskan bulir-bulir kristal dari bola matanya, tak lagi terbendung kepedihan dan kekecewaan yang dirasakannya. Entahlah, tak ada kata yang mampu melukiskan keporakporandaan hati Mutiara. “Baiklah, jika kau tak ingin membawaku, maka aku akan pergi sendiri menjemput kebahagiaan yang tertunda.” bisiknya pada diri sendiri. Dilangkahkannya kaki ke arah jendela, namun terlambat, iring-iringan mobil keluarga mempelai pria telah hadir tepat di depan rumahnya, hingga keramaian mendesak sepi yang seharusnya melingkupi sekitar jendela kamarnya. Lalu pintu kamarnya diketuk.

Medan, September 2009

memenangkan sayembara cerpen HMJ BSI se-Sumatera Utara
termasuk salah satu cerpen terbaik dalam antologi cerpen "Cermin"

3 komentar:

  1. Ass,
    Echo...!!
    keren ... nih....
    slm kenal ( lagi )

    Kerabat KOMPAK
    anhar KOMA

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum,
    saya admin keluarga KOMA
    salam Keren untuk KOMPAK
    semoga KOMA bisa KOMPAK

    okelah kalau begitu ....

    waS

    BalasHapus
  3. KOMPAK adalah denyutku
    yang mengajariku untuk berani
    berbuat salah agar benar nantinya
    daripada
    benar tapi tak ada artinya

    KOMPAK ...!
    you're my spirit ...!

    BalasHapus

logo KOMPAK

logo KOMPAK

Serambi KOMPAK

SEKILAS TENTANG KOMUNITAS PENULIS ANAK KAMPUS (KOMPAK) A. Sejarah Singkat Kelahiran KOMPAK Pada awalnya salah seorang aktivis lembaga kampus yaitu Dani Sukma Agus Setiawan (mahasiswa UNIMED) mempunyai gagasan untuk membentuk sebuah wadah intrakampus yang berkonsentrasi penuh pada ranah kepenulisan. Gagasan tersebut mendapat sambutan hangat dari Rudi Hartono Saragih (mahasiswa Universitas Negeri Medan), Sri Rizki Handayani dan Budianto (mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara). Karena wadah ini merupakan kumpulan dari beberapa kampus, maka keempat pemrakarsa sepakat memberikan nama KOMPAK (Komunitas Penulis Anak Kampus) pada wadah tersebut. Keempat pemrakarsa juga sepakat member nama pada tim mereka dengan sebutan Catur Karya. Kata “catur” berarti empat, sedangkan “karya” merupakan mencipta atau menghasilkan sesuatu. Jadi catur karya bermankna empat orang yang mencipta atau menghasilkan sesuatu. Catur karya bekerja sama dan sama-sama bekerja menyatukan gagasan-gagasan selektifitas. Setelah melalui musyawarah panjang berdasarkan pemikiran-pemikiran dari catur karya, maka Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) dideklarasikan atau resmi dibentuk pada tanggal 23 Desember 2008 bertepatan tanggal di gedung Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Kronologis Kelahiran KOMPAK Dilihat dari segi kronologis sejarah kelahiran KOMPAK, tidak terlepas dari tuntutan menumbuhkembangkan aspek keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Menumbuhkembangkan budaya menulis merupakan aspek yang seharusnya melekat dalam diri mahasiswa. Namun dilematisnya sering sekali budaya menulis hanya sebagai rutinitas memburu gelar akademik semata. Dengan kata lain wabah menulis yang menjangkiti paradigma berpikir seorang mahasiswa hanya demam S.Pd (sarjana Pendidikan) yang begitu kronis untuk diobati. Bukan bermaksud menaifkan gelar, tetapi alangkah baiknya jika gelar itu ditunjang dengan keterampilan menulis. Untuk mampu menulis mahasiswa harus sering menyimak informasi, membaca beberapa referensi dan bertukar fikiran dengan orang lain. Artinya dengan menulis seorang mahasiswa akan berpengetahuan luas dan wajib bagi mahasiswa untuk meningkatkan wawasannya. Oleh karena itulah catur karya termotivasi untuk membentuk wadah kepenulisan guna menumbuhkembangkan budaya menulis. Jadi sebagai mahasiswa kita harus mencatat sejarah. Karena, sejarah tidak akan pernah mencatat dirinya sendiri jika kita tidak pernah mencatatnya. B. Azas, Sifat, dan Tujuan Umum a. Azas Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) berasaskan Pancasila b. Sifat KOMPAK adalah organisasi kemahasiswaan yang bersifat independen, ilmiah serta professional yang berorientasi pada kemajuan, keahlian dan peningkatan potensi penulisan. c. Tujuan KOMPAK bertujuan untuk melahirkan profesionalitas dan karakter penulis yang handal, memiliki dedikasi yang tinggi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dari aspek kepenulisan serta untuk memasyarakatkan karya melalui media massa. C. Visi dan Misi KOMPAK a. Visi Pengembangan sastra Indonesia dalam pembangunan bangsa. b. Misi 1. Mempercepat silaturrahmi antar pelaku seni 2. Mengoptimalkan pola berpikir, berperilaku dan berbudaya sastra melalui pelatihan 3. Memaksimalkan pengiriman karya ke media massa secara lebih aktif 4. Mengaplikasikan karya dalam bentuk seni pertunjukan 5. Menerbitkan buku sastra D. Kepemimpinan dan Keanggotaan KOMPAK a. Kepemimpinan 1. Diangkat melalui forum permusyawaratan resmi untuk masa jabatan tertentu 2. Bersifat demokratis dan religious serta memiliki loyalitas dan dedikasi atas tugas dan tanggung jawab b. Keanggotaan 1. Terdiri dari mahasiswa yang memiliki visi dan misi yang sama dengan KOMPAK 2. Diatur dengan system administrasi tertentu 3. Masa aktif keanggotaan 2 tahun setelah selesai studi 4. Pelatihan dan pengembangan anggota merupakan sasaran dan prioritas utama aktivitas KOMPAK E. Pengambilan Keputusan 1. Keputusan hanya dapat dilakukan melalui musyawarah resmi 2. Keputusan yang menyangkut teknis operasional dan hal-hal yang insidentil dapat diambil oleh unsure pimpinan tertentu. F. Struktur Organisasi KOMPAK Struktur organisasi KOMPAK terdiri atas Penasehat, Pembina, Ketua Umum, wakil Ketua, Sekretaris Umum, Wakil Sekretaris, Bendahara dan beberapa Koordinator.