Kamis, 10 September 2009

Puisi: Gurat Pilu



Gurat Pilu
20 Mei 2009
Api mengayun langkahmu ke haluan
dan aku menguap dari ceruk jiwamu
Bila saja waktu tak terpedo dan buaikan gejolakku,
pasti tak sempat mengakar sesal dalam bidak cintamu
Gagahmu melintas di asa yang membusuk
seperti kail yang mengoyak kerongkongan, tak lepas
Hanya menyilang tapak-tapak lusuh yang pernah dijejak
hingga tak terberita derita yang mendera keping-keping raga
Kini tak terhapus gurat-gurat pilu di dahi kelabuku
pada hilir jiwa aku coba menguntai namaku di nisan

ini saat kebersamaan buka bersama tanggal 10 september 2009, yang dirasakan saat ini adalah keceriaan luar biasa! semua yang hadir terlihat benar-benar kompak.

Jumat, 04 September 2009

Cerpen: Lara


”LARA”

Oleh: Wahyu Wiji Astuti

Tadi pagi hidungnya berdarah lagi. Dia tidak panik. Sudah biasa baginya akhir-akhir ini. Ini sudah yang kelima kali, bahkan kali ini darah juga keluar dari mulutnya. Entah sakit apa, tidak ada yang tahu, termasuk dirinya sendiri. Yang dia tahu hanyalah, “aku sakit”, itu saja. Tapi tak pernah mengadu.

D

ua puluh tahun usianya, tapi gurat di wajahnya seakan melukiskan derita hidup yang telah lapuk. Matanya cekung, lingkar matanya menghitam dan wajahnya pucat. Airmukanya sendu. Mungkin dia telah lupa caranya tersenyum. Sayang, padahal senyumnya sangat manis….

Sudah tiga bulan terakhir ini dia seperti itu. Dulu tidak! Dulu senyumnya selalu terukir, jika tersenyum mata lebarnya menyipit. Aih…, manis sekali. Dia tak pernah tertawa terbahak, senyumnya katup. Orang suka melihatnya. Matanya selalu berbinar-binar, jalannya semampai. Sempat ada lelaki yang melihat surga di binar matanya, walau kadang dia juga terlihat pucat ketika lelah. Tapi dia selalu mampu menutupinya dengan senyum.

Hari-hari sebelum tiga bulan terakhir, dia adalah gadis manis, Laras namanya. Larasati. Tapi dia lebih senang dipanggil Lara. Lara, seperti hatinya yang kerap dirundung duka. Lara yang cerdas dan manis, senyumnya ramah namun pendiam. Gadis yang bijak tapi sopan, Lara….

Setiap melihat wajahnya semua orang tersenyum, sebab Lara selalu mengajak orang tersenyum. Sorot matanya tajam, penuh simpatik dan teduh. Tiap geraknya menunjukkan semangat hidup yang penuh optimis dan berapi-api. Cukup berkarakter untuk kategori seorang gadis.

Tapi semua itu perlahan pudar sejak hari itu. Ada yang mengganggu hatinya. Lara menutup teleponnya sambil tersedu-sedu setelah mengobrol panjang di telepon tadi. Tangisannya dalam, airmatanya deras sekali berderai-derai. Lara naik ke tempat tidur dan membekap wajahnya dengan guling agar isaknya tak terdengar oleh orangtuanya. Lara memang tak pernah menangis di depan orang lain. Tangannya meremas ujung bantal dengan sangat erat, seakan ia membagi kesedihan di ujung syaraf jarinya. Nafasnya naik turun, pundaknya terguncang-guncang dengan tangisnya. ia menghabiskan malam dengan tumpahan airmata hingga matanya merah dan bengkak sekali pagi hari. Lara menutupinya dengan kacamata. Sejak itu, matanya selalu sembab dan sorotnya redup.

Lara lebih memilih diam dan menghindari keramaian. Jika dulu dia tersenyum ketika berpapas dengan orang lain, kini dia hanya tertunduk. Tubuh langsingnya gontai berjalan, terlihat lemah sekali, raut wajahnya seperti menyimpan beban yang amat berat. Lara jarang terlibat pembicaraan lagi, dia hanya menulis dan menulis. Sudah berlembar-lembar kertas dihabiskan, entah itu dengan puisi, cerita, atau hanya siluet-siluet yang meneriakkan kegalauan hati. Temannya sempat bertanya,

“Lara, kau kenapa? Akhir-akhir ini kau tampak beda,” tapi Lara hanya menggelengkan kepala dan tersenyum getir. Sering juga orang menyapanya,

“Kau pucat sekali, kenapa? Kau sakit?” namun Lara hanya tersenyum, seolah-olah senyumnya menyuruh sang penanya untuk tidak melanjutkan pertanyaan-pertanyaan lain.

***

Tiap saat Lara mengambil handphone-nya dan melihat layarnya berkali-kali. Seperti orang yang sedang menunggu sesuatu dengan wajah bimbang, setiap hari. Kesehatannya kian memburuk, ia sering terbatuk, berat sekali, dan ketika batuk ia memegang dadanya menahan nyeri, memegang sudut kanan dan kiri dahinya dengan kedua tangan sambil memejamkan mata. Hingga sore itu Lara jatuh pingsan, tubuhnya lemah sekali. Dan orangtuanya membawa Lara ke dokter keluarga.

Setelah diperiksa, dokter berbicara kepada Ibunya, entah apa yang dibicarakan, ia hanya sempat mendengar suara dokter samar-samar, sementara suara Ibu sangat pelan hingga tak terdengar sedikitpun.

“Sudah sepuluh tahun? Itu sudah termasuk sangat kuat. Pada kasus seperti ini biasanya pasien hanya mampu bertahan paling lama enam sampai delapan tahun.

Apa selama ini ada keluhan?

Itu sudah hebat, berarti anda sangat menjaga kesehatannya. Apa Anda memberinya semacam pengobatan atau terapi?

Jika tidak, pada pasien seperti ini biasanya bertahan karena ia memiliki semangat hidup tinggi dan mampu menjaga emosinya.

Baiklah, yang dapat kita lakukan adalah terus menjaga emosinya, obat-obatan yang saya berikan bukanlah penyembuh, tetapi hanya menekan perkembangan penyakit dan penghilang rasa sakit, tetapi dalam jangka panjang obat ini justru akan melemahkan syaraf, jadi sebisa mungkin jangan sampai membebani fikirannya, mungkin itu bisa membantu.

Ya, dan satu lagi, jangan sampai ia terkena flu atau menangis, karena akan memacu produksi lendir di pernafasannya, itu bisa lebih membahayakan kesehatannya.” Kata-kata dokter cukup mewakili untuk membuatnya paham akan kondisinya, walau ia tidak lagi bertanya apa-apa pada Ibu.

***

Malam ini Lara menulis lagi, butir-butir airmata menghiasi kertas yang ditulisnya hingga kadang tulisannya kabur karena basah, namun Lara tak peduli. Ia terus menguntai kata demi kata di lembar kertas merah muda,

“Dia ingin pergi membawa separuh jiwa dan semangat hidupku. Bagaimana aku bisa hidup tanpa dia? Aku telah menitipkan separuh jiwaku kepadanya. Jika dia pergi meninggalkan aku, bagaimana aku bisa hidup dengan setengah jiwa yang rapuh? Aku tak bisa hidup tanpa dia! Sungguh! Lebih baik dia membunuhku saja daripada dia meninggalkan aku, karena percuma aku hidup tanpa dirinya. Aku sangat mencintainya Tuhan! Aku sangat mencintainya bahkan melebihi aku mencintai diriku sendiri, sungguh ini tak ku dramatisir. Jika aku bisa memilih, aku akan membuang perasaan yang menyakitkan ini. Tolong maafkan aku! Aku akan berlutut di hadapanmu, bahkan bersujud di kakimu agar kau memaafkan aku, atau kau ingin menukar nyawaku dengan maafmu? Ambillah! Ambillah nyawaku asal itu bisa membuka maafmu. Aku memang wanita bodoh yang tak pandai menyenangkan hatimu hingga kau bosan padaku, tapi seperti itulah aku, aku harus bagaimana? Katakan aku harus bagaimana agar kau tak bosan padaku?” tangisnya pecah, tapi ia hanya sendiri.

Pria itu datang dalam hidupnya dua setengah tahun yang lalu, membawa semangat hidup baru, dan selalu mampu mengalirkan ketenangan padanya, hingga dalam hidupnya Lara hanya mengenal dia. Dia datang ketika Lara hampir rubuh, dan menjadi kekuatan hingga Lara seakan utuh. Tapi kini dia ingin meninggalkan Lara karena satu kata yang mengiris-iris hatinya, “bosan”.

Lara mencampakkan pena, lalu terduduk di lantai. Tangisnya henti, ia rebah perlahan dan meringkuk. Tatap matanya seperti memikirkan suatu hal yang tak biasa. Tak lama ia bangkit, seperti entah mendapat kekuatan darimana ia membereskan kamarnya. Ia rapikan buku, pakaian, dan barang-barangnya. Lara membungkus rapi barang-barang kesayangannya, menyatukan semua catatan harian dan membuang semua catatan yang tak ingin diketahui orang lain. Tak butuh waktu lama untuk membuat kamarnya rapi dan wangi.

“Hahh, semua sudah rapi, jadi tak susah lagi ibu merapikan kamarku jika aku sudah tidak ada nanti,” gumamnya. Lara terduduk, malam itu ia telah berniat untuk mengakhiri hidupnya.

“Tak ada gunanya lagi aku hidup, aku sungguh tak tahan dengan semua ini, percuma saja jika aku hidup sementara semangat hidupku sudah tak ada lagi. Bagaimana manusia bisa hidup dengan separuh jiwa yang rapuh? Dan jika pun aku hidup, mungkin aku bisa gila.” hatinya berkata-kata.

Lara memikirkan dengan cara apa dia harus menerbangkan nyawa? Ia tak mau esok pagi terlihat seram bergantung dengan mata terbelalak dan lidah terjulur. Ia juga tak ingin esok hanya pingsan dengan mulut berbusa. Akhirnya ia mengambil pisau lipat dari laci meja untuk menyayat nadinya, tapi ia teringat satu hal.

Tak akan ia mati tanpa meninggalkan pesan. Diambilnya kertas dan pena, ditulisnya surat untuk pria yang disebutnya malaikat pelindung, lalu selembar lagi permohonan maaf dan pesan-pesan kepada orang tuanya. Semoga Tuhan mengampuni aku yang telah melakukan dosa besar ini. Lara bersujud, agak lama….

Tangan kanannya memegang pisau kecil itu dengan sangat erat, perlahan ditorehnya ke nadinya, perih… Lalu darah segar mengucur. Ia kembali bersujud, dalam sujudnya ia teringat Ibu dan Ayahnya, teringat Tuhannya. Ia ingat belum banyak ibadah yang dilakukannya. Terngiang-ngiang di telinganya kata-kata dokter tempo hari, sungguh Tuhan telah menganugrahinya hidup lebih lama. Lalu untuk apa ia menjemput kematian karena kematian pun akan menjemputnya tanpa diminta, bahkan mungkin dalam waktu dekat ini juga. Ia ingat seminggu lalu kakek datang tersenyum padanya dalam mimpi, ia teringat kemarin malam mbah kakung datang dalam mimpi dan memeluknya, ia teringat tadi malam nenek datang dalam mimpinya tanpa berkata apa-apa. Mereka semua telah lama tiada. Terakhir Lara teringat pria itu, pria yang dulu sangat mencintainya, apakah dengan mati berarti dia mendapatkan Akbar? Bukankah dengan mati Akbar juga akan menjadi milik orang lain? Lalu ia teringat dosanya, belum sempat pun ia meminta maaf kepada Ibunya.

Lara bangkit, kepalanya berat, pandangannya kabur, ia segera mengambil kapas dan kain lalu menghentikan darah yang berasal dari nadi tangannya. Barusan Lara telah melakukan hal bodoh. Ia membersihkan tetesan darah yang belum begitu banyak mengotori ruangan. Lara bersujud kembali, kali ini sujudnya khusyuk, lalu Lara tertidur….

***

Lara pandai menyembunyikan luka, baik luka di pergelangannya, maupun luka di hatinya. Hari-harinya kemudian berlalu dengan jiwa kosong. Tak lagi ia mampu melepas gelak tawa, bibirnya pucat dan beku. Kebahagiaannya terpasung. Ia memilih berteman dengan pena, karena dengan pena ia bisa mengurai luka, sebab menangis ia tak boleh, seperti kata Ibu, demi kesehatannya. Maka dibuatnya bendungan airmata. Walau terkadang airmatanya tumpah tak terbendung. Ia juga lebih sering menengadahkan tangan kepada Yang Kuasa.

Lara menguntai sajak tanpa judul, seluruhnya. Jika ditanya judul ia tak bisa. Lara membaca satu diantara untai sajaknya, Aku dipaksa merajut syair-syair ungu/ Seperti peri yang dianugerahi sayap agar dia terbang/ Satu tanda tlah tergores/ Untukmu...

***

Lara tak masuk kuliah,

Tengah malam tadi ia terbangun, terbatuk dengan sangat berat. Lara bangkit hendak mengambil air putih di dapur, tiba-tiba ada yang membuat risih hidungnya, dirabanya, darah segar menetes dari hidungnya. Tak jadi ia minum, diambilnya selembar tissue dan membersihkan, ia masuk ke kamar mandi. Setengah jam ia berdiri, menunggu darah itu berhenti. Sesekali memencet pangkal hidung, dan menengadah, lalu membersihkannya dengan air.

Berat sekali kepalanya malam itu, ia kembali ke tempat tidur. Kaki dan telapak tangannya dingin. Ia merebahkan diri, serasa onggokan daging tubuhnya sulit digerakkan, ia lemah sekali. Paginya ia tak bisa bangkit, ia memaksakan untuk bangkit, tapi terjatuh, lalu pingsan. Ketika terbangun ia sudah berada di tempat tidur lagi, tapi disampingnya ada Ibu yang tersenyum menyambutnya.

“Sudah sadar,?” tanya Ibu

“jangan banyak beraktivitas, istirahatlah dulu, hari ini tidak usah kuliah.” sambungnya. Lara hanya mengangguk patuh. Setelah menyuapi Lara, Ibu keluar meninggalkannya agar beristirahat.

Bosan Lara berbaring di tempat tidur, ia mengambil buku catatannya dan merangkai kata,

Ini hari kelima belas aku menorehkan nada-nada kematian/ Kali ini aku hanya ingin menangis, berikanlah waktu untukku bersenda gurau dengan airmata/ karena mungkin nanti aku tak mampu lagi berairmata. / Jika waktu yang ada hanya tuk mengukir pilu di hatiku, baik tak ada. / Tapi waktu tak dapat ku tepis, maka akulah yang kan menggulung jiwa.”

“Tess.., tess.., “ darah menetes di atas kertas itu. Pagi ini hidungnya berdarah lagi, ini sudah yang kelima kalinya, dan kali ini dengan tetesan lebih banyak. Lara beringsut ingin mengambil lap, tapi ia terbatuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya, ia muntah, tapi cairan merah. Lara mengucap nama Tuhannya, lalu matanya katup.

Untuk Malaikat Pelindung

Rumah awan, Mei 2009

Cerpen: Ketika Malam Merayap Lebih Dalam


“Ketika Malam Merayap Lebih Dalam”

Oleh: Wahyu Wiji Astuti

Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia‘07

Pagi ini kulangkahkan kaki keluar rumah. Terserah, yang kutahu bagaimana aku harus mengisi sejengkal perut lima mulut yang menunggu nanti siang.

Apa yang ku tahu tentang hidup, adalah hal yang tak terlihat oleh mata. Seperti geliat-geliat nasib yang merangkak menuju keabadian.

Untuk apa menangis, jika tak kan terisi perut karenanya. Tapi jika ingin menangis, menangislah karena kau hidup tanpa seorang pun yang membutuhkanmu ada, dan karena Tuhan tak menganugrahimu airmata.

Di sudut jalan itu kulihat seonggok manusia dengan telapak tangan menganga. Siapa yang ingin sepertinya? Tak ada! Bahkan tidak dirinya sendiri. Hidupnya adalah belas kasihan manusia dan sisa-sisa harapan yang kandas begitu saja. Tapi aku tak kan sama! Walau mungkin hidup bagiku hanyalah ketika malam tiba, ketika manusia terpejam dan nafsu merajalela.

Jangan katakan aku haram sebab aku mengais nasib dari pria yang menumpahkan maninya ke rahimku. Aku adalah pahlawan, karena pada pundakku memikul lima “bintang kejora” dengan binar yang tertutup debu. Mereka membuatkau merasa hidupku berarti. Senyum mereka adalah kado istimewa yang slalu kunanti tiap aku menginjakkan kaki ke pemukiman kumuh yang lebih pantas disebut rumah sampah.

Tidak! Itu rumah kami. Jika sampah, tentu saja yang menempati adalah sampah. Tapi kami bukan! Meskipun banyak sorot mata yang terkadang memandang jijik pada manusia seperti kami dan menyebut kami sampah masyarakat.

Siapa yang sampah? Bukankah mereka yang kerjanya hanya duduk santai di sofa empuk, menunggu gepokan uang dalam koper mahal menghampiri mereka lebih pantas disebut sampah?

Apa karena mereka selalu menyumpal mulutnya dengan makanan enak, membungkus raganya dengan baju mahal dan membubuhkan parfum di tubuhnya, lantas mereka boleh meludahi kami dari dalam mobil yang kacanya menyilaukan mata?

Bangsat!

***

Beberapa langkah lagi aku sampai di toko buku tempatku biasa bekerja. Tapi itu dulu. Sebab seminggu yang lalu aku dipecat karena ada pelanggan yang tahu kalau aku seorang wanita malam, lalu mengadukannya kepada bos ku. Memang! Aku merasa tidak adil awalnya, namun aku harus berbuat apa? Pemilik toko buku itu tak mau reputasi tokonya hancur dan pelanggan merasa tidak nyaman gara-gara ada seorang wanita lacur berada di toko itu.

Aku memandangi toko itu dari kejauhan, belum buka! Seperti biasa toko itu menungguku mengusap debu di penjuru ruangan dan rak-rak kokoh yang menjajari ruangan itu. Jika semua orang membenci dan menghindari debu, aku justru mencari dan berharap dia akan selalu ada. Ya! Aku bersyukur pada tiap debu yang hinggap di toko itu, sebab debu adalah sumber pencaharianku selain melacur.

Dulu setiap pagi, dengan sigap aku membersihkan debu-debu tanpa bosan, dan ketika toko dibuka dia akan terlihat bersih dan rapi. Dengan demikian orang-orang akan senang membeli atau membaca buku di dalamnya.

Aku juga menghargai buku seperti aku menghargai diriku sendiri. Semua buku yang ada di sana mengenalku dan menyayangi aku. Tentu saja! Setiap hari aku selalu menyapa mereka dengan menyusun letaknya agar tetap rapi, dan mengusapnya lembut jika dia mulai berdebu.

Sesekali aku juga sering membacanya diam-diam jika ada waktu luang dan ketika bos ku sedang tidak ada. Untungnya dulu ibu menyekolahkan aku walau hanya sampai kelas III SMP. Jadi aku mengerti setiap kata yang ada di dalam buku-buku yang kubaca.

Begitulah,,, Walau hanya seorang cleaning service, aku tak mau dianggap kolot dan dungu. Sebab itu aku membaca.

Dan ketika senja datang membawa siluet-siluet jingga, biasanya aku akan bergumam “Akh…, akhirnya tugasku selesai juga”. Aku sumringah, tugasku bergumul dengan debu telah selesai, tapi pergumulan tak akan sampai di situ, karena ketika matahari bersembunyi nanti, aku akan kembali bergumul dengan malam, beradu dengus nafas dan peluh dengan pria hidung belang.

Tapi tak apa. Aku suka!

Suka?

Gila!

Ya, aku suka karena aku akan mendapat lembaran-lembaran nominal setiap selesai berseteru dengan nafsu setan pria-pria jalang. Mereka yang jalang atau aku? Entahlah, aku tak peduli. Yang pasti mereka mata pencaharianku untuk memenuhi kehidupanku bersama kelima bintang kejoraku. Aku bahagia karena masih ada yang membutuhkan aku selain bintang kejoraku, atau mungkin lebih tepatnya membutuhkan tubuhku, terserah. Yang kutahu, aku bahagia, itu saja!

Ketika aku menghampiri malam, aku hanya bisa berharap ada Om muda baik hati yang memberiku uang lebih. Dengan begitu aku bisa membawa pulang uang yang lebih pula. Meskipun sebenarnya itu juga tidak cukup untuk memenuhi hidup enam orang manusia.

Cukup lama aku berdiri memandangi toko buku itu. “Mungkin buku-buku di sana merindukan aku”, pikirku.

Aku pun berlalu….

***

Sudah dua malam aku tidak melacur karena Bima sedang sakit, sebab itu hari ini tidak ada lagi uang tersisa untuk makan siang kami nanti. Sementara pesangon dari hasil pemecatanku minggu lalu sudah habis untuk membeli obat Bima. Aku bingung harus mencari uang darimana, tapi aku harus mendapatkannya sebelum matahari menunjukkan kegarangannya siang nanti. Ada lima orang bocah tak berdosa yang menunggu aku di rumah.

Semua pasti bertanya, siapa lima orang bocah yang kusebut bintang kejora itu? Adikku? Aku tidak punya adik lagi setelah satu-satunya adikku yang berusia lima tahun meninggal karena demam tinggi. Anakku? Mungkinkah seorang wanita berusia dua puluh tiga tahun telah memiliki lima orang anak dengan usia yang paling tua tiga belas tahun?

Tidak, mereka bukan siapa-siapaku, bahkan tidak ada hubungan darah sedikitpun denganku. Tapi aku telah menganggap mereka seperti adikku sendiri, aku sangat menyayangi mereka melebihi diriku sendiri. Mereka adalah Sari, Dedek, Anto, Raisya dan si kecil Bimo.

Bintang kejora yang paling besar bernama Sari, dia gadis yang manis, usianya tiga belas tahun. Aku bertemu dengannya setahun yang lalu. Malam itu aku baru saja pulang melacur, ketika aku melewati gang sempit dan sepi aku samar-samar mendengar tangis anak kecil. Dan kulihat seorang preman ingin menggagahi Sari yang sudah setengah telanjang sambil terisak-isak, sementara adiknya, Anto yang berusia 3 tahun menggigil ketakutan. Ketika itu Sari masih dua belas tahun. Aku berang melihat kejadian itu dan mencegah preman itu berbuat lebih jauh. Kebetulan aku mengenalnya, sehinga tidak sulit untukku memintanya menjauhi gadis malang itu.

Aku menggamit lengan Sari dan Anto, lalu mengajak mereka tinggal bersamaku karena dia mengaku sudah tiga hari minggat dari rumah karena kerap disiksa oleh Ayah tirinya setelah Ibu mereka meninggal dunia.

Dedek dan Raisya adalah anak seorang pengemis yang dulu sering bercengkerama denganku, namun kini dia berada di penjara karena membunuh suaminya sendiri. Jadi untuk sementara anak-anaknya yang masih kecil tinggal bersamaku. Dan Bimo yang kini sedang sakit adalah anak sahabatku yang juga seorang wanita malam. Namanya Nina, kehamilannya terjadi tanpa dikehendaki, dan pria yang menghamilinya adalah Om kaya yang tiap malam mengajaknya berkencan. Namun siapa yang mau mengakui anak hasil hubungan terlarang apalagi dengan seorang pelacur? Sebelum Nina meninggal dia menitipkan Bimo padaku. Maka jadilah aku hidup dengan kelima orang anak tak berdosa yang menggantungkan hidupnya padaku.

Aku tak pernah mengajarkan mereka untuk meminta-minta, karena aku tak ingin mereka dipandang hina. Untuk mendapatkan sesuap nasi, manusia harus bekerja. Namun aku pun tidak mengizinkan mereka bekerja karena mereka masih terlalu kecil. Aku juga tidak ingin Sari dan Raisya nantinya mengikuti jejak hidupku.

***

Setelah berjalan dari rumah ke rumah, akhirnya aku menemukan orang yang membutuhkan jasa mencuci baju hari ini. Lumayanlah, dari hasil cucian dua rumah aku mendapatkan sepuluh ribu rupiah. Botol bekas air mineral yang sepanjang jalan tadi aku kumpulkan mungkin bisa sedikit menambahi jumlahnya. Hari sudah beranjak siang, sudah waktunya aku pulang.

Benar saja, setibanya aku di rumah triplek berukuran 6 x 3 itu, aku disambut dengan senyuman manis dan binar mata bahagia dari kelima bintang kejora. Seketika lelahku hilang. Terlebih melihat Bimo yang sudah bisa tertawa. Ternyata panasnya sudah turun. Syukurlah…., aku memeluknya erat.

Malam mulai merayap lebih dalam, membawa mimpi bagi berpasang-pasang mata yang terpejam. Ketika manusia terlelap, aku bahkan tak menguap. Aku bangkit dari lantai yang dialasi tikar usang. Mencuci muka dan bersiap-siap untuk kembali bekerja. Bekerja? Ya! Melacur maksudnya, macam tak tau saja! Aku harus terus bekerja agar mampu menghidupi lima nyawa. Malam ini kan Bimo sudah tidak demam lagi, aku kini bisa meninggalkannya dengan lega.

Aku membubuhkan bedak dan gincu tebal. Tumpukan make up di wajahku membuatku tampak lebih cantik, apalagi dengan baju minim ini pasti akan menarik pria pemburu zina.

Aku mengecup kening Bimo sebelum meninggalkan rumah petak yang bau itu. Kakiku melangkah menuju sarang kupu-kupu malam. Baru saja aku berdiri di sana, sebuah Honda Jazz berhenti tepat di depanku. Setelah sedikit bernego aku masuk ke dalam mobil yang membawa kepasrahanku entah kemana.

Malam kian merayap lebih dalam, dan aku bersembunyi di balik kepuasan lelaki….

logo KOMPAK

logo KOMPAK

Serambi KOMPAK

SEKILAS TENTANG KOMUNITAS PENULIS ANAK KAMPUS (KOMPAK) A. Sejarah Singkat Kelahiran KOMPAK Pada awalnya salah seorang aktivis lembaga kampus yaitu Dani Sukma Agus Setiawan (mahasiswa UNIMED) mempunyai gagasan untuk membentuk sebuah wadah intrakampus yang berkonsentrasi penuh pada ranah kepenulisan. Gagasan tersebut mendapat sambutan hangat dari Rudi Hartono Saragih (mahasiswa Universitas Negeri Medan), Sri Rizki Handayani dan Budianto (mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara). Karena wadah ini merupakan kumpulan dari beberapa kampus, maka keempat pemrakarsa sepakat memberikan nama KOMPAK (Komunitas Penulis Anak Kampus) pada wadah tersebut. Keempat pemrakarsa juga sepakat member nama pada tim mereka dengan sebutan Catur Karya. Kata “catur” berarti empat, sedangkan “karya” merupakan mencipta atau menghasilkan sesuatu. Jadi catur karya bermankna empat orang yang mencipta atau menghasilkan sesuatu. Catur karya bekerja sama dan sama-sama bekerja menyatukan gagasan-gagasan selektifitas. Setelah melalui musyawarah panjang berdasarkan pemikiran-pemikiran dari catur karya, maka Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) dideklarasikan atau resmi dibentuk pada tanggal 23 Desember 2008 bertepatan tanggal di gedung Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Kronologis Kelahiran KOMPAK Dilihat dari segi kronologis sejarah kelahiran KOMPAK, tidak terlepas dari tuntutan menumbuhkembangkan aspek keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Menumbuhkembangkan budaya menulis merupakan aspek yang seharusnya melekat dalam diri mahasiswa. Namun dilematisnya sering sekali budaya menulis hanya sebagai rutinitas memburu gelar akademik semata. Dengan kata lain wabah menulis yang menjangkiti paradigma berpikir seorang mahasiswa hanya demam S.Pd (sarjana Pendidikan) yang begitu kronis untuk diobati. Bukan bermaksud menaifkan gelar, tetapi alangkah baiknya jika gelar itu ditunjang dengan keterampilan menulis. Untuk mampu menulis mahasiswa harus sering menyimak informasi, membaca beberapa referensi dan bertukar fikiran dengan orang lain. Artinya dengan menulis seorang mahasiswa akan berpengetahuan luas dan wajib bagi mahasiswa untuk meningkatkan wawasannya. Oleh karena itulah catur karya termotivasi untuk membentuk wadah kepenulisan guna menumbuhkembangkan budaya menulis. Jadi sebagai mahasiswa kita harus mencatat sejarah. Karena, sejarah tidak akan pernah mencatat dirinya sendiri jika kita tidak pernah mencatatnya. B. Azas, Sifat, dan Tujuan Umum a. Azas Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) berasaskan Pancasila b. Sifat KOMPAK adalah organisasi kemahasiswaan yang bersifat independen, ilmiah serta professional yang berorientasi pada kemajuan, keahlian dan peningkatan potensi penulisan. c. Tujuan KOMPAK bertujuan untuk melahirkan profesionalitas dan karakter penulis yang handal, memiliki dedikasi yang tinggi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dari aspek kepenulisan serta untuk memasyarakatkan karya melalui media massa. C. Visi dan Misi KOMPAK a. Visi Pengembangan sastra Indonesia dalam pembangunan bangsa. b. Misi 1. Mempercepat silaturrahmi antar pelaku seni 2. Mengoptimalkan pola berpikir, berperilaku dan berbudaya sastra melalui pelatihan 3. Memaksimalkan pengiriman karya ke media massa secara lebih aktif 4. Mengaplikasikan karya dalam bentuk seni pertunjukan 5. Menerbitkan buku sastra D. Kepemimpinan dan Keanggotaan KOMPAK a. Kepemimpinan 1. Diangkat melalui forum permusyawaratan resmi untuk masa jabatan tertentu 2. Bersifat demokratis dan religious serta memiliki loyalitas dan dedikasi atas tugas dan tanggung jawab b. Keanggotaan 1. Terdiri dari mahasiswa yang memiliki visi dan misi yang sama dengan KOMPAK 2. Diatur dengan system administrasi tertentu 3. Masa aktif keanggotaan 2 tahun setelah selesai studi 4. Pelatihan dan pengembangan anggota merupakan sasaran dan prioritas utama aktivitas KOMPAK E. Pengambilan Keputusan 1. Keputusan hanya dapat dilakukan melalui musyawarah resmi 2. Keputusan yang menyangkut teknis operasional dan hal-hal yang insidentil dapat diambil oleh unsure pimpinan tertentu. F. Struktur Organisasi KOMPAK Struktur organisasi KOMPAK terdiri atas Penasehat, Pembina, Ketua Umum, wakil Ketua, Sekretaris Umum, Wakil Sekretaris, Bendahara dan beberapa Koordinator.