Jumat, 04 September 2009

Cerpen: Lara


”LARA”

Oleh: Wahyu Wiji Astuti

Tadi pagi hidungnya berdarah lagi. Dia tidak panik. Sudah biasa baginya akhir-akhir ini. Ini sudah yang kelima kali, bahkan kali ini darah juga keluar dari mulutnya. Entah sakit apa, tidak ada yang tahu, termasuk dirinya sendiri. Yang dia tahu hanyalah, “aku sakit”, itu saja. Tapi tak pernah mengadu.

D

ua puluh tahun usianya, tapi gurat di wajahnya seakan melukiskan derita hidup yang telah lapuk. Matanya cekung, lingkar matanya menghitam dan wajahnya pucat. Airmukanya sendu. Mungkin dia telah lupa caranya tersenyum. Sayang, padahal senyumnya sangat manis….

Sudah tiga bulan terakhir ini dia seperti itu. Dulu tidak! Dulu senyumnya selalu terukir, jika tersenyum mata lebarnya menyipit. Aih…, manis sekali. Dia tak pernah tertawa terbahak, senyumnya katup. Orang suka melihatnya. Matanya selalu berbinar-binar, jalannya semampai. Sempat ada lelaki yang melihat surga di binar matanya, walau kadang dia juga terlihat pucat ketika lelah. Tapi dia selalu mampu menutupinya dengan senyum.

Hari-hari sebelum tiga bulan terakhir, dia adalah gadis manis, Laras namanya. Larasati. Tapi dia lebih senang dipanggil Lara. Lara, seperti hatinya yang kerap dirundung duka. Lara yang cerdas dan manis, senyumnya ramah namun pendiam. Gadis yang bijak tapi sopan, Lara….

Setiap melihat wajahnya semua orang tersenyum, sebab Lara selalu mengajak orang tersenyum. Sorot matanya tajam, penuh simpatik dan teduh. Tiap geraknya menunjukkan semangat hidup yang penuh optimis dan berapi-api. Cukup berkarakter untuk kategori seorang gadis.

Tapi semua itu perlahan pudar sejak hari itu. Ada yang mengganggu hatinya. Lara menutup teleponnya sambil tersedu-sedu setelah mengobrol panjang di telepon tadi. Tangisannya dalam, airmatanya deras sekali berderai-derai. Lara naik ke tempat tidur dan membekap wajahnya dengan guling agar isaknya tak terdengar oleh orangtuanya. Lara memang tak pernah menangis di depan orang lain. Tangannya meremas ujung bantal dengan sangat erat, seakan ia membagi kesedihan di ujung syaraf jarinya. Nafasnya naik turun, pundaknya terguncang-guncang dengan tangisnya. ia menghabiskan malam dengan tumpahan airmata hingga matanya merah dan bengkak sekali pagi hari. Lara menutupinya dengan kacamata. Sejak itu, matanya selalu sembab dan sorotnya redup.

Lara lebih memilih diam dan menghindari keramaian. Jika dulu dia tersenyum ketika berpapas dengan orang lain, kini dia hanya tertunduk. Tubuh langsingnya gontai berjalan, terlihat lemah sekali, raut wajahnya seperti menyimpan beban yang amat berat. Lara jarang terlibat pembicaraan lagi, dia hanya menulis dan menulis. Sudah berlembar-lembar kertas dihabiskan, entah itu dengan puisi, cerita, atau hanya siluet-siluet yang meneriakkan kegalauan hati. Temannya sempat bertanya,

“Lara, kau kenapa? Akhir-akhir ini kau tampak beda,” tapi Lara hanya menggelengkan kepala dan tersenyum getir. Sering juga orang menyapanya,

“Kau pucat sekali, kenapa? Kau sakit?” namun Lara hanya tersenyum, seolah-olah senyumnya menyuruh sang penanya untuk tidak melanjutkan pertanyaan-pertanyaan lain.

***

Tiap saat Lara mengambil handphone-nya dan melihat layarnya berkali-kali. Seperti orang yang sedang menunggu sesuatu dengan wajah bimbang, setiap hari. Kesehatannya kian memburuk, ia sering terbatuk, berat sekali, dan ketika batuk ia memegang dadanya menahan nyeri, memegang sudut kanan dan kiri dahinya dengan kedua tangan sambil memejamkan mata. Hingga sore itu Lara jatuh pingsan, tubuhnya lemah sekali. Dan orangtuanya membawa Lara ke dokter keluarga.

Setelah diperiksa, dokter berbicara kepada Ibunya, entah apa yang dibicarakan, ia hanya sempat mendengar suara dokter samar-samar, sementara suara Ibu sangat pelan hingga tak terdengar sedikitpun.

“Sudah sepuluh tahun? Itu sudah termasuk sangat kuat. Pada kasus seperti ini biasanya pasien hanya mampu bertahan paling lama enam sampai delapan tahun.

Apa selama ini ada keluhan?

Itu sudah hebat, berarti anda sangat menjaga kesehatannya. Apa Anda memberinya semacam pengobatan atau terapi?

Jika tidak, pada pasien seperti ini biasanya bertahan karena ia memiliki semangat hidup tinggi dan mampu menjaga emosinya.

Baiklah, yang dapat kita lakukan adalah terus menjaga emosinya, obat-obatan yang saya berikan bukanlah penyembuh, tetapi hanya menekan perkembangan penyakit dan penghilang rasa sakit, tetapi dalam jangka panjang obat ini justru akan melemahkan syaraf, jadi sebisa mungkin jangan sampai membebani fikirannya, mungkin itu bisa membantu.

Ya, dan satu lagi, jangan sampai ia terkena flu atau menangis, karena akan memacu produksi lendir di pernafasannya, itu bisa lebih membahayakan kesehatannya.” Kata-kata dokter cukup mewakili untuk membuatnya paham akan kondisinya, walau ia tidak lagi bertanya apa-apa pada Ibu.

***

Malam ini Lara menulis lagi, butir-butir airmata menghiasi kertas yang ditulisnya hingga kadang tulisannya kabur karena basah, namun Lara tak peduli. Ia terus menguntai kata demi kata di lembar kertas merah muda,

“Dia ingin pergi membawa separuh jiwa dan semangat hidupku. Bagaimana aku bisa hidup tanpa dia? Aku telah menitipkan separuh jiwaku kepadanya. Jika dia pergi meninggalkan aku, bagaimana aku bisa hidup dengan setengah jiwa yang rapuh? Aku tak bisa hidup tanpa dia! Sungguh! Lebih baik dia membunuhku saja daripada dia meninggalkan aku, karena percuma aku hidup tanpa dirinya. Aku sangat mencintainya Tuhan! Aku sangat mencintainya bahkan melebihi aku mencintai diriku sendiri, sungguh ini tak ku dramatisir. Jika aku bisa memilih, aku akan membuang perasaan yang menyakitkan ini. Tolong maafkan aku! Aku akan berlutut di hadapanmu, bahkan bersujud di kakimu agar kau memaafkan aku, atau kau ingin menukar nyawaku dengan maafmu? Ambillah! Ambillah nyawaku asal itu bisa membuka maafmu. Aku memang wanita bodoh yang tak pandai menyenangkan hatimu hingga kau bosan padaku, tapi seperti itulah aku, aku harus bagaimana? Katakan aku harus bagaimana agar kau tak bosan padaku?” tangisnya pecah, tapi ia hanya sendiri.

Pria itu datang dalam hidupnya dua setengah tahun yang lalu, membawa semangat hidup baru, dan selalu mampu mengalirkan ketenangan padanya, hingga dalam hidupnya Lara hanya mengenal dia. Dia datang ketika Lara hampir rubuh, dan menjadi kekuatan hingga Lara seakan utuh. Tapi kini dia ingin meninggalkan Lara karena satu kata yang mengiris-iris hatinya, “bosan”.

Lara mencampakkan pena, lalu terduduk di lantai. Tangisnya henti, ia rebah perlahan dan meringkuk. Tatap matanya seperti memikirkan suatu hal yang tak biasa. Tak lama ia bangkit, seperti entah mendapat kekuatan darimana ia membereskan kamarnya. Ia rapikan buku, pakaian, dan barang-barangnya. Lara membungkus rapi barang-barang kesayangannya, menyatukan semua catatan harian dan membuang semua catatan yang tak ingin diketahui orang lain. Tak butuh waktu lama untuk membuat kamarnya rapi dan wangi.

“Hahh, semua sudah rapi, jadi tak susah lagi ibu merapikan kamarku jika aku sudah tidak ada nanti,” gumamnya. Lara terduduk, malam itu ia telah berniat untuk mengakhiri hidupnya.

“Tak ada gunanya lagi aku hidup, aku sungguh tak tahan dengan semua ini, percuma saja jika aku hidup sementara semangat hidupku sudah tak ada lagi. Bagaimana manusia bisa hidup dengan separuh jiwa yang rapuh? Dan jika pun aku hidup, mungkin aku bisa gila.” hatinya berkata-kata.

Lara memikirkan dengan cara apa dia harus menerbangkan nyawa? Ia tak mau esok pagi terlihat seram bergantung dengan mata terbelalak dan lidah terjulur. Ia juga tak ingin esok hanya pingsan dengan mulut berbusa. Akhirnya ia mengambil pisau lipat dari laci meja untuk menyayat nadinya, tapi ia teringat satu hal.

Tak akan ia mati tanpa meninggalkan pesan. Diambilnya kertas dan pena, ditulisnya surat untuk pria yang disebutnya malaikat pelindung, lalu selembar lagi permohonan maaf dan pesan-pesan kepada orang tuanya. Semoga Tuhan mengampuni aku yang telah melakukan dosa besar ini. Lara bersujud, agak lama….

Tangan kanannya memegang pisau kecil itu dengan sangat erat, perlahan ditorehnya ke nadinya, perih… Lalu darah segar mengucur. Ia kembali bersujud, dalam sujudnya ia teringat Ibu dan Ayahnya, teringat Tuhannya. Ia ingat belum banyak ibadah yang dilakukannya. Terngiang-ngiang di telinganya kata-kata dokter tempo hari, sungguh Tuhan telah menganugrahinya hidup lebih lama. Lalu untuk apa ia menjemput kematian karena kematian pun akan menjemputnya tanpa diminta, bahkan mungkin dalam waktu dekat ini juga. Ia ingat seminggu lalu kakek datang tersenyum padanya dalam mimpi, ia teringat kemarin malam mbah kakung datang dalam mimpi dan memeluknya, ia teringat tadi malam nenek datang dalam mimpinya tanpa berkata apa-apa. Mereka semua telah lama tiada. Terakhir Lara teringat pria itu, pria yang dulu sangat mencintainya, apakah dengan mati berarti dia mendapatkan Akbar? Bukankah dengan mati Akbar juga akan menjadi milik orang lain? Lalu ia teringat dosanya, belum sempat pun ia meminta maaf kepada Ibunya.

Lara bangkit, kepalanya berat, pandangannya kabur, ia segera mengambil kapas dan kain lalu menghentikan darah yang berasal dari nadi tangannya. Barusan Lara telah melakukan hal bodoh. Ia membersihkan tetesan darah yang belum begitu banyak mengotori ruangan. Lara bersujud kembali, kali ini sujudnya khusyuk, lalu Lara tertidur….

***

Lara pandai menyembunyikan luka, baik luka di pergelangannya, maupun luka di hatinya. Hari-harinya kemudian berlalu dengan jiwa kosong. Tak lagi ia mampu melepas gelak tawa, bibirnya pucat dan beku. Kebahagiaannya terpasung. Ia memilih berteman dengan pena, karena dengan pena ia bisa mengurai luka, sebab menangis ia tak boleh, seperti kata Ibu, demi kesehatannya. Maka dibuatnya bendungan airmata. Walau terkadang airmatanya tumpah tak terbendung. Ia juga lebih sering menengadahkan tangan kepada Yang Kuasa.

Lara menguntai sajak tanpa judul, seluruhnya. Jika ditanya judul ia tak bisa. Lara membaca satu diantara untai sajaknya, Aku dipaksa merajut syair-syair ungu/ Seperti peri yang dianugerahi sayap agar dia terbang/ Satu tanda tlah tergores/ Untukmu...

***

Lara tak masuk kuliah,

Tengah malam tadi ia terbangun, terbatuk dengan sangat berat. Lara bangkit hendak mengambil air putih di dapur, tiba-tiba ada yang membuat risih hidungnya, dirabanya, darah segar menetes dari hidungnya. Tak jadi ia minum, diambilnya selembar tissue dan membersihkan, ia masuk ke kamar mandi. Setengah jam ia berdiri, menunggu darah itu berhenti. Sesekali memencet pangkal hidung, dan menengadah, lalu membersihkannya dengan air.

Berat sekali kepalanya malam itu, ia kembali ke tempat tidur. Kaki dan telapak tangannya dingin. Ia merebahkan diri, serasa onggokan daging tubuhnya sulit digerakkan, ia lemah sekali. Paginya ia tak bisa bangkit, ia memaksakan untuk bangkit, tapi terjatuh, lalu pingsan. Ketika terbangun ia sudah berada di tempat tidur lagi, tapi disampingnya ada Ibu yang tersenyum menyambutnya.

“Sudah sadar,?” tanya Ibu

“jangan banyak beraktivitas, istirahatlah dulu, hari ini tidak usah kuliah.” sambungnya. Lara hanya mengangguk patuh. Setelah menyuapi Lara, Ibu keluar meninggalkannya agar beristirahat.

Bosan Lara berbaring di tempat tidur, ia mengambil buku catatannya dan merangkai kata,

Ini hari kelima belas aku menorehkan nada-nada kematian/ Kali ini aku hanya ingin menangis, berikanlah waktu untukku bersenda gurau dengan airmata/ karena mungkin nanti aku tak mampu lagi berairmata. / Jika waktu yang ada hanya tuk mengukir pilu di hatiku, baik tak ada. / Tapi waktu tak dapat ku tepis, maka akulah yang kan menggulung jiwa.”

“Tess.., tess.., “ darah menetes di atas kertas itu. Pagi ini hidungnya berdarah lagi, ini sudah yang kelima kalinya, dan kali ini dengan tetesan lebih banyak. Lara beringsut ingin mengambil lap, tapi ia terbatuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya, ia muntah, tapi cairan merah. Lara mengucap nama Tuhannya, lalu matanya katup.

Untuk Malaikat Pelindung

Rumah awan, Mei 2009

1 komentar:

logo KOMPAK

logo KOMPAK

Serambi KOMPAK

SEKILAS TENTANG KOMUNITAS PENULIS ANAK KAMPUS (KOMPAK) A. Sejarah Singkat Kelahiran KOMPAK Pada awalnya salah seorang aktivis lembaga kampus yaitu Dani Sukma Agus Setiawan (mahasiswa UNIMED) mempunyai gagasan untuk membentuk sebuah wadah intrakampus yang berkonsentrasi penuh pada ranah kepenulisan. Gagasan tersebut mendapat sambutan hangat dari Rudi Hartono Saragih (mahasiswa Universitas Negeri Medan), Sri Rizki Handayani dan Budianto (mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara). Karena wadah ini merupakan kumpulan dari beberapa kampus, maka keempat pemrakarsa sepakat memberikan nama KOMPAK (Komunitas Penulis Anak Kampus) pada wadah tersebut. Keempat pemrakarsa juga sepakat member nama pada tim mereka dengan sebutan Catur Karya. Kata “catur” berarti empat, sedangkan “karya” merupakan mencipta atau menghasilkan sesuatu. Jadi catur karya bermankna empat orang yang mencipta atau menghasilkan sesuatu. Catur karya bekerja sama dan sama-sama bekerja menyatukan gagasan-gagasan selektifitas. Setelah melalui musyawarah panjang berdasarkan pemikiran-pemikiran dari catur karya, maka Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) dideklarasikan atau resmi dibentuk pada tanggal 23 Desember 2008 bertepatan tanggal di gedung Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Kronologis Kelahiran KOMPAK Dilihat dari segi kronologis sejarah kelahiran KOMPAK, tidak terlepas dari tuntutan menumbuhkembangkan aspek keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Menumbuhkembangkan budaya menulis merupakan aspek yang seharusnya melekat dalam diri mahasiswa. Namun dilematisnya sering sekali budaya menulis hanya sebagai rutinitas memburu gelar akademik semata. Dengan kata lain wabah menulis yang menjangkiti paradigma berpikir seorang mahasiswa hanya demam S.Pd (sarjana Pendidikan) yang begitu kronis untuk diobati. Bukan bermaksud menaifkan gelar, tetapi alangkah baiknya jika gelar itu ditunjang dengan keterampilan menulis. Untuk mampu menulis mahasiswa harus sering menyimak informasi, membaca beberapa referensi dan bertukar fikiran dengan orang lain. Artinya dengan menulis seorang mahasiswa akan berpengetahuan luas dan wajib bagi mahasiswa untuk meningkatkan wawasannya. Oleh karena itulah catur karya termotivasi untuk membentuk wadah kepenulisan guna menumbuhkembangkan budaya menulis. Jadi sebagai mahasiswa kita harus mencatat sejarah. Karena, sejarah tidak akan pernah mencatat dirinya sendiri jika kita tidak pernah mencatatnya. B. Azas, Sifat, dan Tujuan Umum a. Azas Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) berasaskan Pancasila b. Sifat KOMPAK adalah organisasi kemahasiswaan yang bersifat independen, ilmiah serta professional yang berorientasi pada kemajuan, keahlian dan peningkatan potensi penulisan. c. Tujuan KOMPAK bertujuan untuk melahirkan profesionalitas dan karakter penulis yang handal, memiliki dedikasi yang tinggi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dari aspek kepenulisan serta untuk memasyarakatkan karya melalui media massa. C. Visi dan Misi KOMPAK a. Visi Pengembangan sastra Indonesia dalam pembangunan bangsa. b. Misi 1. Mempercepat silaturrahmi antar pelaku seni 2. Mengoptimalkan pola berpikir, berperilaku dan berbudaya sastra melalui pelatihan 3. Memaksimalkan pengiriman karya ke media massa secara lebih aktif 4. Mengaplikasikan karya dalam bentuk seni pertunjukan 5. Menerbitkan buku sastra D. Kepemimpinan dan Keanggotaan KOMPAK a. Kepemimpinan 1. Diangkat melalui forum permusyawaratan resmi untuk masa jabatan tertentu 2. Bersifat demokratis dan religious serta memiliki loyalitas dan dedikasi atas tugas dan tanggung jawab b. Keanggotaan 1. Terdiri dari mahasiswa yang memiliki visi dan misi yang sama dengan KOMPAK 2. Diatur dengan system administrasi tertentu 3. Masa aktif keanggotaan 2 tahun setelah selesai studi 4. Pelatihan dan pengembangan anggota merupakan sasaran dan prioritas utama aktivitas KOMPAK E. Pengambilan Keputusan 1. Keputusan hanya dapat dilakukan melalui musyawarah resmi 2. Keputusan yang menyangkut teknis operasional dan hal-hal yang insidentil dapat diambil oleh unsure pimpinan tertentu. F. Struktur Organisasi KOMPAK Struktur organisasi KOMPAK terdiri atas Penasehat, Pembina, Ketua Umum, wakil Ketua, Sekretaris Umum, Wakil Sekretaris, Bendahara dan beberapa Koordinator.