
KETULUSAN
Oleh: Sri RH
Kutatap langit biru yang membulirkan berjuta keindahan dan harapan sembari merenungi nasib hidupku yang penuh dengan dilema. Jiwaku bergejolak, ingin berontak pada takdir kehidupan, tapi pada siapa aku harus marah? Pada siapa harus kulampiaskan rasa kesalku? Untuk apa aku marah? Amarah itu akan sia-sia saja karena Allah telah menuliskan nasibku pada lembaran-lembaran takdir. Aku sadar inilah takdir hidupku yang harus kujalani dengan penuh ketabahan dan keikhlasan,
Aku terlahir dalam sebuah keluarga yang sederhana, dari ibu yang sederhana, dari kelahiran yang sederhana sebab hidup ini pun sederhana saja. Namun, dalam kesederhanaan ini aku bersyukur karena di sinilah kuperoleh kebahagiaan yang tak tergantikan oleh apapun. Aku punya orang tua yang begitu bijaksana, yang selalu mengajarkanku arti hidup, arti kesederhanaan dan mengajarkanku bagaimana mensyukuri nikmat Allah SWT.
Seketika lamunanku dibuyarkan oleh suara tawa seorang pria paruh baya. Kualihkan pandangan mataku untuk mencari suara yang tertangkap daun telingaku. Tepat di sudut rumah, kulihat sesosok tubuh kekar dengan kulit hitam legam yang terbakar terik matahari. Dengan kumis tebal yang menempel di atas bibirnya dan janggut yang menempel di dagunya membuat wajahnya terlihat begitu seram bagi siapapun yang melihatnya. Namun, pada kenyataanya dia adalah seseorang yang sangat baik hati dan ramah. Pria paruh baya itu adalah ayahku. Seseorang yang sangat kami kagumi dan selalu menjadi tauladan kami, anak-anaknya.
Ayahku hanyalah seorang petani yang punya penghasilan pas-pasan. Walaupun penghasilan itu sudah bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari namun, untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya, ayah harus mencari tambahan lain. Karena itu, selain bertani, ayah juga menjadi agen buah khususnya mangga. Demi kebutuhan sehari-hari dan pendidikan anak-anaknya, kedua pekerjaan itu benar-benar digeluti oleh ayah. Walaupun begitu, ayah tidak pernah berkeluh kesah. Dengan penuh keikhlasan dan kesabaran ayah menjalani semua ini dengan harapan anak-anaknya akan menjadi orang yang berguna kelak bagi diri sendiri, keluarga, bangsa dan negara. Sungguh tiada kata yang mampu kurangkai untuk memuji ketulusan ayahku.
Sementara ibu hanyalah seorang ibu rumah tangga yang selalu setia melayani ayah dan merawat serta mendidik kami anak-anaknya. Namun, ibu bukanlah seorang istri yang tega membiarkan ayah bergelut sendiri, mempertaruhkan hidupnya demi memperjuangkan masa depan anak-anaknya. Karena itu, ibu membuka usaha kecil-kecilan di rumah yaitu usaha emping melinjo kebetulan kami juga punya pohon sendiri. Alhamdulillah dari penghasilan tersebut, ibu bisa memenuhi kebutuhan lainnya seperti pakaian dan keperluan rumah tangga lainnya.
***
Di pagi yang kelam kurasakan dingin yang luar biasa membalut seluruh tubuhku membuat tubuhku malas untuk beranjak dari tidur malamku. Lantunan kalam Allah sayup-sayup tertangkap daun telingaku sebagai pertanda kalau azdan subuh akan segera berkumandang. Pada saat bersamaan aku juga mendengar suara peralatan dapur saling beradu. Saat itu, aku tersadar kalau ibu sudah mulai beraksi di dapur menyiapkan segala kebutuhan untuk sarapan pagi. Namun, aku masih tetap bermalas-malasan di tempat tidur karena mataku yang celik masih sulit untuk menyambut pagi yang kelam dan akhirnya aku kembali terlelap.
Azdan subuh pun mulai berkumandang menggemparkan kesunyian pagi yang kelam. Namun, aku masih terbuai oleh sentuhan angin syahdu yang membuatku terlelap dalam mimpi tak bertepi.
Sayup-sayup terdengar suara memanggilku. Liaa…!Liaa…!Aku tetap diam tak bergumam, tapi aku merasa sudah menjawab panggilan itu. Terdengar lagi suara panggilan di telingaku dan kali ini daun telingaku menangkap dengan jelas suara itu. Liaa…! Aku pun tersentak dan segera bangun dari tidurku. Aku baru sadar ternyata suara yang dari tadi kudengar adalah suara ibu yang membangunkanku untuk shalat subuh.
Aku pun segera turun dari tempat tidurku untuk melaksanakan perintah sang pencipta. Kurapikan rambutku dan langsung keluar kamar menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelah selesai shalat, aku pun segera merapikan tempat tidur dan bersiap-siap untuk mandi. Tapi, aku harus ngantri karena kakak-kakakku sudah mendahului aku.
***
Aku menanti. Duduk di ruang tengah sambil memandang pepohonan yang melindungi rumahku dari debu dan sinar matahari yang selalu menghampiri. Kulihat rembulan yang hampir hilang dari pandangan mengintip dari balik pepohonan mengingatkanku pada kebahagiaan yang semu. Namun, aku tak boleh pesimis, aku harus optimis bahwa kebahagiaan yang kuimpikan pasti akan kuraih.
Pandangan mataku beralih pada sesosok tubuh yang berdiri di bawah pohon jambu yang rindang. Kulihat ayahku yang sedang membenahi sepeda jandanya. Seperti biasa ayahku selalu menyiapkan semua peralatan yang dibutuhkannya untuk berangkat ke sawah setiap selesai shalat subuh. Ayah selalu menyiapkan semuanya di saat langit masih gelap karena dia tidak ingin mentari pagi lebih dahulu menyapanya sebelum dia sampai ke sawah.
Ayahku bukan hanya giat dan tekun dalam bekerja tapi dia juga orang yang teliti. Untuk sepeda saja dia benar-benar mengontrolnya agar dapat dikayuh dengan baik oleh kedua kakinya. Belum lagi perlengkapan lainnya, seperti pacul dan parang juga setiap hari selalu diasah hingga tajamnya mampu menghancurkan segala penghalang perjuangannya dan selalu siap menemani ayah dalam berjuang menuliskan masa depan anak-anaknya di hamparan cita-cita.
Tak lelah mataku memperhatikan ayah. Semua peralatan telah selesai dibenahi dan dikemas dalam keranjang. Kemudian keranjang dinaikkan ke atas sepeda, tepatnya diletakkan pada bangku belakang dan diikat dengan gesit oleh ayah. Matanya yang jeli melihat sisi kiri dan kanan keranjang, untuk memastikan apakah karet ban dan keranjang sudah menyatu dengan sepeda hingga dia yakin kalau keranjang itu tidak akan jatuh atau terlepas dari ikatannya. Itulah ayahku yang begitu giat dan tekunnya dalam berjuang menapaki hidup.
Lamunanku dibuyarkan oleh teguran ayah. “Kenapa belum mandi, sudah jam berapa ini?”
“Haa..!O, iya yah, ini Lia mau mandi tadi masih nunggu kakak.” Aku sedikit kaget mendengar teguran ayah karena ayahku bukanlah orang yang banyak bicara. Kalaupun bicara hal-hal yang penting saja jadi aku takut kalau ayah marah.
“Sudah cepat, nanti kesiangan!”
“Iya, Yah!”
***
Secangkir kopi hangat telah tersedia di atas meja. Begitu juga teh dan sarapan pagi dengan menu spesial “nasi goreng telur dadar”. Walupun menunya sangat sederhana, tapi bagi kami itulah sarapan pagi yang sangat spesial, apalagi nasi goreng buatan ibu.
“Yah, sudah selesai atau belum? Minum dulu kopinya, nanti kalau dingin tak enak lagi.”
“Ya Bu, sudah selesai kok! Anak-anak sudah selesai atau belum? Suruhlah cepat, nanti kesiangan pula sampai di sekolah.”
“Iya Yah, sebentar lagi juga selesai.”
Terdengar suara ibu memanggil aku dan kakak-kakakku untuk segera sarapan pagi. Kami pun segera bersiap-siap dan bergegas menuju ruang makan yang cukup sederhana. Ibu dan ayah sudah menanti kami, duduk di hamparan tikar tepat di depan TV merek Sanyo berkotak ukuran 21 inch berwarna hitam putih. Kami pun duduk bersama menikmati sarapan pagi dengan penuh keakraban. Begitu indahnya pagi ini kurasakan bersama keluarga saling bercengkrama menyantap sarapan pagi yang spesial itu.
***
Ayah sudah meyiapkan uang saku untuk kami semua. Pagi itu, sebenarnya aku perlu uang lima ribu rupiah untuk membayar cicilan uang buku. Tapi, belum sempat aku menyampaikan maksudku pada ayah, abang sudah mendahului aku. Seketika aku mengurungkan niatku karena aku tahu bagaimana kondisi keuangan ayahku. Aku tak mungkin memaksakan keinginanku. Namun, tanpa kuduga ayah bertanya padaku.
“Berapa lagi uang bukumu Lia?” Aku tersentak, aku sangat terharu mendengarnya, dengan perasaan yang tak karuan aku pun menjawab pertanyaan ayah.
“Lia butuh lima belas ribu rupiah lagi Yah untuk melunasi semuanya.”
“Ayah belum punya uang untuk melunasi semuanya jadi masing-masing ayah beri lima ribu rupiah dulu, kekurangannya sabar ya nak, nanti kita bayar. Berdoa saja mudah-mudahan Allah memberikan rezeki yang lebih buat kita.”
“Amiin..! Kami menjawab serentak. Mendengar kata-kata ayah hatiku benar-benar hancur, terhempas oleh ombak rasa yang berkecamuk di relung kalbuku, menghimpitku di antara puing-puing berserakan di hamparan kealfaan.”
“Jangan khawatir nak, Allah tidak akan mengabaikan hambanya yang benar-benar ingin memperoleh ilmu pengetahuan.” Ibu menambahkan kata-kata ayahku. Aku terdiam mendengar ucapan ibu, aku masih belum mengerti apa maksud dari kata-kata ibu.
“Jangan bingung nak, seperti yang pernah ibu dengar dari orang tua dulu, katanya kalau untuk pendidikan Allah pasti akan memberikan rezeki yang berbeda, yakinlah pada kata-kata itu, yang penting kuatkan kemauan kalian untuk belajar, insya Allah semua pasti akan berjalan dengan lancar sesuai dengan harapan kita.” Aku begitu lega mendengar motivasi dari ibu, ibu benar kalau aku harus yakin kalau Allah akan selalu membantu hambaNya yang lemah. Aku tidak akan mengecewakan ayah dan ibu. Aku harus mampu mewujudkan harapan ayah dan ibu untuk menjadi orang yang berguna baik dunia maupun akhirat nanti.
***
Tepat pukul enam pagi, Ayah segera bergegas untuk berangkat ke sawah dan kami menyalaminya. Setiap hari ayah mengayuh sepedanya dan melewati kerikil-kerikil tajam di hamparan jalan. Berlomba dengan sinar mentari pagi. Itulah ayahku yang tak pernah menyerah dengan kehidupan. Tak pernah mengeluh selalu ikhlas menuliskan masa depan anak-anaknya di lembaran kehidupan. Dengan sawah sebagai kertas dan pacul sebagai pena pengukir cita-cita. Berdiri di bawah terik matahari mengayunkan pena di atas lembaran kehidupan mengukir cita-cita tiada terganti.
Pelita Harapan
Oleh: Sri Rizki H
Reranting senja merimbunkan dedaun malam, berpucuk awan memekarkan kelopak hitam. Namun, masih kulihat kuntum-kuntum bulan merekah di taman langit munajatkan semerbak cahaya temaram penepis gelapnya renyuh-renyuh malam. Hanya untaian salam yang mampu kutitipkan lewat desir angin yangmengalir agar dapat membasahi kegersangan hari terlewati.
***
Sekiranyasenja tak menyusup dalam nadi napas kehidupanku, takkan kurasakan gelap yang maha pekat memngiringi perjalananku.
Ini takdir perjalanan hidupku.
Ya, inilah perjalanan hidupku. Akan kurangkai semangat perjuangan di bingkai tabir kehidupan. Kutakkan mengeluh dan merasa terhempas oleh takdir hidupku.
Sekiranya senja itu bukan suratan, maka kutakkan ikhlas menerima semua ini. Kupasti mengingkarinya. Tapi, aku sadar. Ya, kutersadar kalau kita semua akan menjumpai senja itu. Takkan ada yang mampu menghindar.
Saat ini, hanya masa depanku dan adik-adikku yang akan kurangkai dalam jambangan munajat airmataku. Sebagai seorang anak sudah tugasku mengabdi pada orang tua dengan menjadikan adik-adik sebagai tanggung jawabku. Ini kulakukan bukan hanya demi ibu, tetapi demi ikrar yang pernah meluncur saat senja membawa ayahku tercinta.
Reranting senja terus membayangiku, mengingatkan pada kemurahan hati dan kebijaksanaan ayah. Aku hany bias memunajatkan semerbak temaram dalam kenangan masa laluku, berharap terbentang masa depan cemerlang dihadapanku. Sedih, bimbang pada potensi diri. Mampukah aku?
***
Aku masih mengecap pendidikan di belantara cita-cita. Tepatnya di SMA Negeri 1 Perbaungan. Namun, saat aku baru saja merajut mimpi. Aku harus kehilangan harapan menjadi siswa terbaik. Selama ini ayah yan g selalu mendongkrak semangat belajarku. Tapi, setelah senja itu menyongsong, tak ada lagi yang mampu memberi terapi sejuk sebagai pondasi perjuanganku.
Aku bingung.
Tak tahu apa yang ingin kulakukan. Semua terasa hampa. Aku tidak tahu, apakah besok aku masih bias bersekolah atau tidak?
“Lia, besok pulang jam berapa nak?” Emak bertanya padku dengan penuh iba.
“Kiki pulang seperti biasa mak, tepat jam 14.00. Memang ada apa mak?” Kupandang wajah emak yang sendu, matanya yang indah terlihat cekung karena terhanyut oleh senja yang menenggelamkan kebahagiaan kami.
“Tidak apa-apa nak!”
“Emak jangan bohong sama Lia.” Kutatap wajah emak. Terlihat wajah rembulan itu menyembunyikan sederat masalah.
“Lia bagaimana kalau seandainya emak tak sanggup lagi menyediakan ongkos dan membayar uang sekolahmu nak?” Seketika aku terhenyak, terpental oleh pmbak rasa yang akan menggulung impianku. Kuterdiam. Tak ada satu kata pun yang meluncur dari bibir. Mataku berkaca-kaca. Tak pernah kubayangkan jika harus putus sekolah. Emak tak mengharapkan jawabanku lagi. Emak menyadari betapa terpukulnya aku mendengar pertanyaan itu.
“Sudahlah Lia, kita jalani saja dulu, mudah-mudahan Allah memberikan rezeki lebih buat kita.Tapi, kalau nanti emak benar-benar tak bisa memenuhi semuanya, kamu harus siap ya nak!” Hatiku pilu mendengarnya, membuat lidahku terpintal tak mampu berkata-kata. Aku segera menghambur ke kamar. Kurebahkan tubuhku di atas ranjang. Kujatruhkan wajah pada bantal yang yang setia menemani tidurku. Kali ini, bukan hanya menjadi teman tapi penghapus airmata kebimbangan yang mengalir dari saku airmataku.
“Ya Allah, tolong hambamu ini!...Apa yang harus kulakukan? Berilah hamba petunjuk dan jadikan hamba manusia yang kuat dalam mengarungi samudera kehidupan ini, amiin..!
Aku harus bangkit.
Aku tak boleh menyerah pada suratan takdir. Kalau aku lemah dan menyerah pada suratan berarti gagal. Bertahan dan berjuang itu jalan terbaik bagiku. Kuhapus airmata segera.
***
Seperti biasa, aku berangkat ke sekolah menempuh perjalanan lima kilo meter dari rumahku. Tiga ribu rupiah uang yang diberi emak hanya cukup untuk ongkos saja, tidak ada uang saku untuk memanjakan perutku.
Aku cukup aktif mengikuti kegiatan sekolah. Karena itu semua guru mengenalku. Walaupun begitu tetap saja semangat belajarku masih begitu rendah. Peringkat sepuluh besar pun tak mampu kurangkul.
“Lia, akhir-akhir ini kuperhatikan semangat belajar kamu menurun, kenapa sih?” Lirih Ani teman karibku.
“Enggak semangat bagaimana? Aku biasa-biasa saja kok..!”
“Lia, kita itu berteman sudah lama, aku kenal karakter kamu. Jadi jangan bohngi diri kamu sendiri. Kenapa Lia? Apa perubahan ini karena kepergian ayahmu?” Aku diam berangkai kata.
“Kalau itu penyebabnya, sudahlah Lia, tidak perlu senja itu terus mengusik pikiranmu, masih ada beruntai mimpi yang harus kamu rangkul temanku. Tak perlu menyesali dan meratapi yang telah pergi, karena sesal dan ratap takkan mengembalikan itu semua. Aku temanmu Lia, ungkapkan semua yang kamu rasa biar aku bisa membantumu, setidaknya mengurangi sedikit beban pikiranmu teman.” Airmataku mengalir tak terbendung. Jatuh beruntai penuh lara.
“Kepergian Ayah memang membuat kusedih An. Selama ini dia penopang ku dalam menapaki pendidikan. Alhamdulillah sampai saat ini aku masih mengecap pendidikan. Tapi An, saat ini aku berada di persimpangan. Aku bingung jalan mana yang harus aku ambil. Satu jalan mengajak aku terus maju untuk merah apa yang kumimpikan dan satu jalan lagi, aku melihat emak berlinangan airmata, mengiba dan memintaku mengurungkan niat untuk mengejar mimpi itu. Dan semua itu ada alasannya. Satu hal lagi An, ketika senja itu membawa ayahku, aku telah berikrar di tengah haru, aku akan mewujudkan mimpiku untuk jadi suri tauladan bagi adik-adikku nanti.” Sekarang harus bagaimana kupertanggungjawabkan ikrarku dan bagaimana mungkin aku menolak permohonan emak? Aku harus mengikhlaskan semuanya An, mimpi dan harapanku. Aku harus siap jika harus meninggalkan sekolah ini. Semua ini karena ekonomi keluarga yang tak mampu lagi menopang kebutuhan kami. Untuk yang sejengkal saja, kami harus mencekik leher demi mempertahankan pendidikan. Pada dasarnya, pendidikan itu sangat penting bagi keluargaku, tapi suratan takdir ada di tangan Allah An, aku hanya bisa berusaha untuk bertahan dengan segenap kemampuan yang kupunya. Akan kubuka lembaran-lembaran takdir dan berusaha merangkainya seindah mungkin.
“Subhanallah, maha suci Allah, yang masih memberi kesabaran buat kamu Lia. Sekarang aku paham. Aku simpati padamu teman. Mungkin kalau aku diposisi kamu, aku akan marah pada ibuku karena menyuruhku putus sekolah. Itu hal yang memalukan Lia.”
“Aku tidak akan pernah marah pada emak An, karena aku tahu di relung hatinya, itu pasti keputusan berat. Apalagi masih banyak yang harus ditanggungnya. Walaupun bagiku ini pukulan keras. Aku tetap berusaha bertahan An demi ikrarku pada ayah.”
“Sabar ya Lia, aku yakin kamu pasti mampu melewati semua rintangan ini. Allah Maha Pengasih, takkan pernah membiarkan hamba-Nya terpuruk dalam ketidakberdayaan. Mudah-mudahan Allah memberikan jalan keluar untuk masalah ini ya Lia!”
“Amiin, mudah-mudahan saja An, makasih banyak ya An dah Bantu aku mengurangi beban ini.”
“Itu gunanya teman Lia, jangan pernah kamu memikirkan masalah sendiri karena itu akan menghambat kreativitasmu.” Aku bersyukur punya teman yang mau berbagi sukacita denganku.
***
Pagi ini memberi terapi sejuk di relung hatiku. Kicauan burung begitu syahdu terdengar. Menghibur kepedihan yang menusuk-nusuk ulu hatiku. Aku berada di kelas menanti guru bidang studi yang tak kunjung hadir.
Terlihat Pak Ritonga menuju kelas kami. Seorang guru Bimbingan Konseling sekaligus pengurus beasiswa di sekolah ini. Kupikir beliau akan menggantikan guru kami, tapi ternyata hanya mendata orang tua murid yang sudah tidak ada. Awalnya aku tidak tahu untuk apa itu, beberapa hari berjalan barulah aku tahu, nama-nama itu akan diajukan untuk menerima beasiswa.
Aku senang. Seketika hatiku berkecamuk.
Menyimpan segala rasa.aku merasa pelangi telah yerbaentang d I hadapanku. Aku yakin untuk tahap awal pendidikanku akan terselamatkan dengan beasiswa tersebut. Aku bersyukur karena Allah telah mendengar doaku.
Kusampaikan berita gembira itu pada emak. Emakku yang selalu bermunajat airmata, sangat bersyukur karena Allah memberikan jalan keluar untuk kebimbangan hatinya. Meskpun begitu, tetap saja aku harus mencari tambahan lain agar emak tak terlalu berat.
Kumanfaatkan hariku untuk kerja paruh waktu. Walaupun hanya lima ribu rupiah yang kudapat setidaknya membantu meringankan beban emak. Aku bisa berangkat sekolah dengan hasil keringatku. Aku juga membantu emak membuat emping untuk memenuhi kebutuhan harian, meskipun sampai larut malam. Aku takkan pernah mengeluh. Semua ini demi emak, adik-adik dan perjuanganku menapaki kehidupan.
Aku akan terus berjuang. Selama kedua tangan dan kakiku masih leluasa untuk beraktivitas. Takkan pernah kuberhenti menapaki perjalanan menuju belantara cita-cita.
Aku punya mimpi.
Punya harapan. Takkan kuabaikan harapan yang kurajut di reruang hati, sampai tubuhku tak mampu bergerak dan lidahku kaku untuk bermunajat.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar