
BUKAN MAUNYA KARSO
Oleh: Nina Sri Maria
Mempertahanan hidup memang sulit. Bertahan dalam kejamnya suasana sosial kini tak gampang. Kebobrokan moral yang telah jadi trend masa kini, hingga butir-butir kemanusiaan seakan terhapus dalam silsilah kenormaan. Bukan hanya moral saja yang telah langka. Tapi sumber penghidupan pun telah payah ditemui, dikerjakan, apalagi untuk dicintai.
Sumber dari jalan hidup. Saat ini memang ibarat mencari sebuah intan di empang. Ketika hendak diambil yang dapat hanya lumpur dasarnya saja.
Mentari begitu hangat menyapa dedaunan yang masih basah karena embun. Cahaya telah menyibakkan gelap malam yang indah. Yang segelap kehidupan sebuah keluarga kecil. Tapi gelapnya kehidupan mereka tak seidah gelap malam yang dapat menyingkirkan kagalauan di siang hari.
Sang ibu, di pagi hari disibukkan untuk membuat sarapan pagi, sangat seadanya. Yang ada untuk dimasaknya hanya nasi dan daun singkong yang dipetik di halaman belakang rumah. Miris sekali hati ibu itu menatap masakan yang ia siapkan itu, namun apalagi yang bisa dimasaknya seain itu. Setelah selesai menyiapkan sarapan , ia pun mulai meracik bumbu untuk berjualan si Bapak sore harinya.
“Bu hanya ini sarapan kita?” tanya Nur, anak sulung di rumah itu. Si ibu hanya menatapnya tanpa menjawab pertanyaan anaknya. Nur pun menundukkan kepalanya sembari duduk di kursi kayu yang terlihat lapuk. Tak lama Iman, adik Nur keluar kamar dan ikut sarapan bersama kakaknya.
“Kalau sudah siap sarapannya, langsung berangkat kesekolah ya…” ujar Bu Lastri, ibu dari ke dua bocah tadi.
“Ya bu…”
Tak lama si Bapak keluar dari kamar mandi dan ikut serta bersama putera-puterinya.
“Ini uang jajan kalian,” kata si Bapak sambil menyodorkan beberapa lembaran uang kertas.
“Tapi pak, kan sudah Iman bilang semalam, kalau Iman harus beli buku. Masa bapak lupa?”
“Kan sudah bapak bilang, bapak belum punya uang!” ujar si Bapak membentak
“Tapi pak.”
“Sudahlah Nur berangkat sana, nanti kalian lerlambat,” perintah ibu menengahi.
Nur dan Iman berangkat kesekolah berjalan kaki. Pak Karso mulai naik pitam, kini dia agak tempramen. Padahal dulunya ia adalah seorang bapak yang sabar dan lembut kepada anak-anaknya.
“Mbok ya sabar pak. Gak usah marah-marah sama anak. Kasian mereka.”
“Pusing saya buk! Pusing!” pak Karso tampak stress
“Ya tapi kan kasian anak-anak mereka gak tahu apa-apa,” ujar Bu Lastri mencoba menenangkan hati suaminya itu.
“Ibu bisa bilang tenang. Tapi ibu gak tahu kan bagaimana memikirkan semua ini?” pak Karso mulai tenang, mungkin karena ia kini juga murah pasrah pada keadaan.
“Pak, ibu juga pusing kalau terus-terusan memikirkan ini, bapak kira ibu gak stress? Mau masak gak ada apa-apa. Semuanya habis.” Sejenak suasana membisu
“Maafin bapak ya bu…”
“Iya pak! Yang penting sekarang kita harus terus berusaha bagaimana caranya agar kita punya uang lagi. Mau ngutang sudah gak mungkin pak.”
“Kenapa gak mungkin bu?”
“Hutang kita sudah banyak pak. Di warung, juga sama para tetangga. Sudah tak mungkin kita hutang pada mereka. Tak mugkin mereka mau pak.”
Pak Karso menghela nafas panjang. Dadanya seperti sesak, baginya semua susah. Sehingga untuk bernafas lega saja susah sekali. Kemiskinan benar-benar telah menjerat keluarganya. Statusnya sebagai tukang sol sepatu di pagi hari dan sorenya sebagai seoarang pedagang bakso keliling sungguh membuat ia resah. Terkadang ia berpikir ini cobaan atau benar Tuhan tak mau peduli dengan nasib keluarganya.
***
Sepulangnya pak Karso dari pasar. Ia bermaksud berjualan bakso keliling tapi yang ia lihat gerobak baksonya masih terparkir di samping rumah, padahal biasanya jam segini sudah siap.
“Bu, kok balum siap-siap? Gerobaknya kok masih di samping?” tanya pak Karso sambil meletakkan peralatan solnya di rak
“Apa yang mau kita jual pak?”
“Maksud ibu apa?
“Iya pak, apa yang mau kita jual? Modal kita sudah habis untuk membayar uang kontrakan rumah ini. Bapak taukan?”
“Kenapa ibu bayarkan?”
“Bagaimana gak ibu bayarkan. Dari pada kita disuruh angkat kaki dari rumah ini.”
Pak Karso menyandarkan tubuhnya di dinding pintu yang terlihat bolong-bolong munkin karena dimakan rayap
“Itu pun kita masih nunggak dua bulan lagi pak…” keluh Bu Lastri yang mulai ikut-ikutan tak tahan lagi
“Jadi?”
“Jadi apa pak? Bapak hari ini dapat uang berapa?” Pak Karso hanya menggeleng.
“Lagi-lagi tak ada order ya pak? Kok seperti ini sih pak nasib kita…” Bu Lastri nyatanya hampir tak sanggup lagi untuk menitihkan air mata. Pedih begitu bersarang dalam batinnya. Ia tak pernah meminta hidupnya begini, saat awal menikah dulu, Pak Karso dan Bu Lastri membayangkan hidupnya akan bahagia dan berkecukupan, ternyata salah, semua hanya mimpi pengantin baru saja.
Buk Lastri coba mendatangi ke warung sebelah untuk mengutang beras buat mengisi lambung yang tak kuasa ditahan lagi. mungkin hanya itu yang dapat di lakukanya, sebenarnya ia tak mau begitu, tapi ya… karena ia sudah benar-benar sudah tak punya uang lagi buat membelinya. Tapi apa yang didapat bu Lastri, hanya amarah da cibiran dari si pemilik warung.
“Buk Lastri… hutang ibu itu di sini sudah sangat banyak. Belum ibu bayar, ini mau ngutang lagi!”
“Tapi bu saya butuh untuk makan anak-anak. Saya tidak punya uang lagi.”
“Kalau tidak punya uang ya sudah, makanya ibu tu bekerja!”
“Tapi bu…”
“Maaf bu tempat lain saja…”
Buk Lastri pergi tanpa mendapatkan apa-apa. Hatinya gusar, karena Nur terlihat pucat akhir-akhir ini ia sering muntah-muntah dan pusing. Ia takut terjadi apa-apa sama puterinya itu yang kini mulai branjak dewasa. Ia dan suaminya bermaksud memeriksakan Nur ke rumah sakit. Tapi boro-boro kerumah sakit, untuk makan sehari-hari saja kini sangat sulit. Mereka juga berusaha mencari pinjaman sama tetangga, terutama pak Haji tetapi tak seorang pun yang memberinya.
Kemelaratan telah mencekik leher keluarga ini. Pak Karso tak lagi berjualan bakso. Kini ia hanya bekerja sebagai tukang sol sepatu. Tak seberapa hasilya, bahkan bisa dalam satu hari tidak mendapatkan apa-apa.. keputusasaan pun melanda sepasang suami-isteri ini. Buk Lasri telah berusaha mencari pekrjaan sebagai tukang cuci, tapi tak seorang pun dari tetangganya yang mau mempekerjakannya, mugkin karena tetangganya sudah pakai mesin untuk mencuci. Segala daya upaya telah mereka lakukan. Tapi mengapa rupiah begitu sulit sekali didapat. Inikah hidup sebenarnya? Merasakan kepahitan terus berkepanjangan dan semakin parah pula dari hari kehari. Entah harus kemana lagi mereka mencari uang sedangkan Nur terlihat tambah parah, tapi tak satu pun dari tetangga yang iba melihat mereka
***
Selama seminggu ini, kampung Suka Damai digegerkan dengan kabar, ada maling jagung. Kebun jagung milik Pak Haji Romli, kabarnya setiap malam disatroni maling. Karena dirasa Pak Haji jagung miliknya tiap malam terus berkurang. Kampung itu menjadi heboh, menurut warga kampung mereka selalu aman dan damai jauh dari kerusuhan apalagi kemalingan seperti ini. Ini benar-benar mengejutkan mereka.
Kebun jagung seluas dua hektar itu, ditanami jagung, kacang tanah, sayur-sayuran, pisang, dan cabai. Haji Romli yang dikenal pelit, tidak terima jagungnya dicuri orang. Jangankan Pak Haji yang amat pelit, orang yang tidak pelit saja juga pasti akan tidak terima kalau barang miliknya diambil orang tanpa permisi. Memang dalam semalam jagung yang dicuri tak sebarapa, namun karena dilakukan hampir tiap malam jadinya cukup banyak jagung yang hilang sebelum dipanen..
Di rumah saat Nur baru pulang dari sekolah, ia menceritakan apa yang ia dengar ketika di jalan mau pulang.
“Bu di rumah Pak Haji ramai sekali. Orang-orang pada heboh.”
“Ada apa rupanya di rumah Pak Haji?”
“Katanya ada maling di kebun Pak Haji.”
Bu Lastri menatap wajah Nur, ia terlihat sedikit pucat. “Kenapa bu?”
“Ah…eng…enggak… ya sudah sana ganti baju terus langsung makan siang,”
Tak lama Pak Karso juga pulang, sama seperti Nur, ia pun membawa berita itu juga. Bu Lastri dan Pak Karso saling melemparkan pandangan, mereka tampak bingung mungkin karena selama ini kampungnya selalu aman.
Malam kian larut, dingin malam kian menusuk. Hening benar-benar terasa terutama di rumah Pak Karso, yang beralaskan tanah liat, berdindingkan anyaman bambo, serta atap rumah bukan lah genteng. Tambah akrablah dingin itu sama keluarga ini. Tiba-tiba suasana hening terpecah oleh teriakan dari warga. Teriakan “Maling” jelas menyeruak di malam itu. Ternyata itu karena warga telah menunggu maling jagung itu, dan hendak menangkapnya. Tapi maling itu dapat meloloskan diri dari kejaran masa.
Paginya suasana lebih heboh dari kemarin. Tiap warga berasumsi. Ada yang bilang inilah-itulah, macam-macamlah, bahkan ada yang bilang “Wajarlah Pak Haji kemalingan wong jadi orang kaya kok pelit amat.”
“Pak Karso kok tadi malam tidak ikut pengejaran?” tanya Pak Bejo, ketika Pak Karso memperbaiki sepatunya di teras rumahnya.
“Keluar? Ada apa rupanya pak?” Tanya Pak Karso bingung
“Wah… Pak Karso ketinggalan info toh?”
“Info?”
“Kan tadi malam kita semua pada ngejar maling jagungnya Pak Haji.”
“O… saya gak tahu pak. Tadi malam saya tidurnya nyenyak sekali. Habisnya saya capek pak, maklumlah kerjanya terus keliling.”
“Tapi benar juga Pak Haji kemalingan, hitung-hitung beramal,” kelakar Pak Bejo
“Ah… Pak Bejo bias saja.”
Di rumah yang sangat sederhana, Pak Karso beristirahat, rebahan di kasur yang keras, melepaskan lelah yang menggandoli tubuh cekingnya itu. Tiba-tiba Iman datang
“Pak…pak…! Kak Nur Pak…! Kak Nur..,” ujar Iman panic
“Kenapa kakakmu?”
“Kakak itu pak pingsan di dapur…”
Pak Karso lansung bergerak mengejar puterinya yang tergeletak di dapur, dengan hidungnya mengeluarkan darah.
“Bangun nak…. Kamu kenapa? Gusti… kenapa anak ku….” Jerit Pak Karso saat memangku Nur
Pak Karso membawa Nur ke Bidan desa
“Bu, bagaimana keadaan puteri saya?” Tanya Pak Karso sambil mendekap isteri dan anaknya
“Untuk kepastian Nur sakit apa. Saya belum tahu karena alat yang saya punya tidak lengkap. Lebih baik bawa dia kerumah sakit saja,” jawab Bu Bidan
“Kerumah sakit?”
“Agar kita tahu apa penyakit Nur sebenarnya, saya khawatir penyakitnya serius. Supaya dapat ditangani dengan tepat.”
“Tapi saya tidak punya biaya bu.”
“Bapak kan bisa mengurus surat ASKIN dari Pak Lurah. Nanti biar saya yang merekomendasikan ke rumah sakit di kota.”
“Baik Bu…”
Pak Karso mencoba mengurusnya, tapi tetap saja perlu waktu untuk prosedur. Dia mencoba minjam uang sama Pak Haji, lagi-lagi hanya tangan kosong yang dibawanya pulang. Pak haji tak sudi meminjamkan uangnya padahal itu untuk berobat tetapi memang dasar Pak Hajinya yang pelit.
Malam ini orang-orang suruhan Pak Haji mengintip kebunya, tapi sudah dutunggu sampai hamper subuh, si maling tidak menampakkan batang hidungnya. Mungkin si maling sudah tahu kalau kebun itu malamnya sudah diintip.
***
Karena beberapa malam kebun itu dijaga, si maling pun tak beroperasi juga. Jadi malam jumat itu tak dijaga karena sudah capai dijaga tappi tuh maling tak nongol juga. Tapi malah jumat paginya jadi heboh, lagi-lagi Pak Haji kebobolan. Pencuri yang hebat, dia bisa tahu kapan kebun itu dijaga dan kapan tidak dijaga.
Jelas saja orang saling tuduh. Ada yang bilang itu pasti orang desa sendiri. Karena sungguh tak mungkin dia bisa tahu kalau malam itu tidak ada yang menjaga.
Pak Karso dan Bu Lastri tak larut dalam kehebohan itu, mereka lebih memilih untuk semakin giat mencari uang dan mengusahakan perobatan Nur.
Esok malamnya ladang itu sengaja tak dijaga. Untuk memancing pencuri itu agar datang lagi. Memang benar, pencuri itu tahu bahwa tidak ada orang yang menjaga. Dan esoknya Pak Haji tidak menggembar-gemborkan masalah itu ke khalayak, karena ia curiga kalau pencuri itu orang kampung itu sendiri. Jadi ia menyusun rencana supaya pencuri itu datang ketika orang suruhannya berjaga. Tepat sekali, pas orang-orang Pak Haji mengintip. Maling itu datang, kali ini maling itu salah strategi. malingnya pun terdiri dari dua orang, kelihatanya mereka sepasang lelaki dan perempuan. Saat maling itu asyik memanen jagung, pasukan penggerebek langsung menyerbu. Tak dapat mengelak, karena yang menggerebek bukan hanya orang-orang Pak Haji, tapi juga warga yang geram.
Pencuri itu tak dapat melarikan diri, mereka terjebak dikepungan orang-orang. Warga memukuli mereka dengan balok, bahkan ada ada yang menyabet dengan sabit. Anarkis memang sangat. Setelah mereka puas menghajar ke dua maling itu hingga berlumuran darah , mereka pun membuka penutup wajah itu, apa yang didapati? Sungguh warga tek menyangka, sepasang suami-isteri yang dikenal tak banyak ulah dan santun, nekad menjadi maling.
Maling itu habis babak belur. Karena sudah tahu siapa malingnya dan mereka pun iba, akhirnya mereka langsung membawa sepasang maling itu ke rumah sakit. Yang ada kepala meling laki-lakinya harus mendapat banyak jahitan, sedangkan yang perempuan tangan dan kakinya harus di gips karena lengannya kena sabetan sabit salah seorang warga yang ikut mengeroyok. Dan kakinya kena pukulan balok.
Maling laki-laki harus mendekam di sel, sedangkan yang wanita harus dirawat intensif di rumah sakit.
Padahal paginya sepasang maling itu harus membawa Nur kerumah sakit untuk berobat karena ASKIN yang mereka urus sudah selesai. Memang benar Nur ke rumah sakit, tapi bukan untuk berobat melainkan untuk melihat keadaan ibunya yang koma di rumah sakit.
Di ruang tempat ibu mereka dirawat, Nur dan Iman hanya dapat menangisi nasib ibunya. Mereka tak menyangka kalau orang tuanya akan berbuat senekad itu demi anak-anaknya.
Setelah melihat ibunya, mereka bergegas menjenguk ayahnya di rumah tahanan.
“Maafi bapak ya nak… bapak gak pantas menjadi bapak kalian…”
“Bapak gak salah kok… Nur dan Iman sayang sama bapak dan ibu..” ujarnya menenangkan hati bapaknya dan larut dalam pelukannya.
“Bagaimana ibumu?” tanyanya sambil memangku Iman
“ Ibu nasih belum sadar pak.”
Perkataan Nur membuat hati Pak Karso bertambah perih. Sebagai seorang suami dan ayah buat isteri dan anak-anaknya. Ia tidak dapat membahagiakan mereka yang sangat ia sayangi.
Miris hatinya membayangkan ini. Kini hanya penyesalan yang menggumpal di dadanya. Ia merasa kesal atas nasib yang menggiringnya kini.
Ranah Kompak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar