Selasa, 13 April 2010

Puisi: Sari Lestari

LELAH
Karya : Sari Lestari Sinaga
Ketika senyum menenggelamkan sunyi
kerinduan tertulis di timbunan malam
menyambut beku kesendirian
dalam ketukan pasrah yang terbingkai

Nada suara siapa yang kukemas
meleleh dibawa sesak duka
di jejak langkah bayang hampamu
hingga lelah terdampar di layar sadarku

DI BALIK SENYUMAN

Malam yang kau sandarkan
membayangkan ku akan lesum dalam
senyum itu
senyum yang kurindu
kalbumu merajamku pilu ingin memilikimu
hingga rindu ini membawa khilaf
yang enggan kusentuh
namun apa dayaku
ku terlanjur memujamu






Ranah KOMPAK

Puisi: Eliza


Tak Tahu
Karya: Eliza KOMPAK

Tak tahu
Bunyi apa itu
Hujan, tidak!
Apa itu?
Suara itu buat aku mati rasa
Kaki mencari melodi itu
Ah.....
Bunga-bunga kecil mengalir
Melintasi batu yang menghadang
Dan terus berlari
Sampai ketitik aman.

Medan, 2009




Kamis, 25 Maret 2010

Cerpen Oleh: Robi Suhendra

Menantu Pesilat

Malam begitu indah saat bintang bertaburan mewarnai kegelapan, perasaan senang di rasakan gadis cantik yang akan mengakhiri masa gadisnya . karena akan di lamar oleh laki-laki yang dia cintai.
Amy gadis cantik yang tidak sabar menunggu pagi , karena akan menunggu hari esok yang dia nanti-nantikan sambil menatap bulan dan bintang yang bersinar terang menerangi kegelapan. Romi laki-laki tampan yang akan melamar amy.

Dan tiba lah hari-hari yang di tunggu amy dan romi . hari yang sangat cerah di acara pernikahan mereka, yang di rayakan dengan meriah dan banyak pejabat-pejabat yang datang menghadiri pesta pernikahan tersebut. Hati amy sangat senang dan bahagia karena waktu yang dia impi-impikan telah dia jalani dengan orang yang dia cintai. Dan setelah pesta pernikahan itu selesai dalam waktu selama tiga hari , amy tinggal di rumah romi suami yang dia cintai . amy sangat ramah dan sayang kepada mertuanya . dia menggangap mertuanya seperti orang tua kandungnya sendiri. Di dalam hidup di rumah mertuanya amy berusaha untuk menjadi orang yang lembut seperti semestinya seorang cewek. Padahal sikap amy tomboy, keras dan kuat.
Tapi sayang mertuanya tidak tau amy adalah seorang pesilat yang kuat, amy merahasiakan semua ini karena amy tau mertuanya tidak suka dengan yang keras dan petarung seperti pesilat. Tapi bisa menyesuiakan diri dengan mertuanya mestipn berat bagi dirinya. Tapi tidak lama selang waktu beberapa minggu amy mendapat undangan , untuk menghadiri acara pencasilat . amy sangat suka dengan acara pentas silat tersebut , amy pergi diam-diam tanpa sepengetahuan mertuanya tapi dia sudah kasih tau sama suaminya yang sibuk dengan pekerjaannya. Dan amy hadir dalam acara pentas silat tersebut , dia sangat senang dan menikmati acara pentas silat tersebut. Tak lama kemudian selesai lah acara etrsebut dan amy pulang larut malam , ia di pergoki sama mertuanya memakai pakaian silat yang dia lupa mengantinya. Dan mertua bertanya
“ dari mana “…?
Amy “ diam”
Dan amy merasa bersalah sama mertua Karen apergi diam-diam dan merahahasikan bahwa dia adalah seorang pesilat yang kuat. Amy menundukan kepelanya saat mertuanya bertanya dan menasehatin dia. Dan amy terus termenung dan terus di bawa oleh rasa bersalah yang telah dia perbuat. Dan pada suatu malam kedalam kamar mertua amy, dan perampok tersebut mnyodorkan golok ke leher mertua amy . semua orang yang didalam rumah tersebut sudah diikat semua oleh perampok tersebut kecuali amy dan suaminya romi. Amy dan romi masih tertidur di kamarnya dan berteriak mertuanya karena di pukul sama perampok itu dan akhirnya amy dan romi bangun dan melihatmertua dan semuanya sudah diikat kecuali mertuanya yang di tahan dengan menggunakan golok yang sangat tajam yang di letakan dileher mertuanya.
Dan di sinilah amy menunjukan aksinya sebagai pesilat dan petarung yang hebat, meskipun amy dan romi tidak boleh bergerak sedikitpun karena perampok tersebuk tidak segan-segan menancapkan golok tersebut keleher mertuanya . tapi amy ingin menunjukan bahwa pesilat itu adalah orang yang bisa di harapkan dan di handalkan dan penting untuk di pelajari , dengan merasa bersalah yang kuat terhadap mertuanya dan amy ingin menembus kesalahan itu dan mengeluarkn wujud aslinya sebagai sang pesilat. Dan amy denga tidak merasa takut sedikitpu menghajar perampok tersebut habies-habiesan dengan jurus yang telah dia pelajari tanpa memperdulikan bahaya pada dirnya sendiri.
Amy berhasil menyelamtkan mertua dan yang lainnya , dan amy meminta maaf kepada mertuanya karena sudah menampakan sifat aslinya . tetapi karena kejadian itu mertuanya juga memaafkan amy walaupun dmertuanya tersebut tidak suka dengan pesilat. Tapi tiga hari kemudian karena kejadian itu, mertua amy memakai pakaian silat dan amy terkejut dan kaget setelah melihat mertuanya tersebut. Dan mertuanya tersebut juga merupakan mantan pesilat karena dia mempunyai pengalaman buruk di dalam dunia silat oleh sebab itu dia ingin mengubur dalam-dalam kenangannya tersebut dan anti terhadap semua hal yang ada kaitanya dengan dunia persilatan. Dan kerena amy menantunya yang rupanya seorang pesilat yang baru dia ketahui telah menyadarkan dia kembali. Mertua amy tersebut berterima kasih kepada amy dan dia senang sama amy walaupun amy adalah seorang pesilat. Dan amy sudah bebas dalam mengembangkan minat dan bakatnya tersebut Karena mertuanya telah mendukung dia sepenuhnya. Dan mertuanya berkata kepada amy
“ kita akan sukses dan sejahtera terhadap sesuatu yang kita tidak sukai karena kita akan belajar menyukainya”.
Amy “ diam”
Amy merasa tekesan dengan apa yang di katakan mertuanya biarpun dia diam. Dan tak lama seiring berjalanya waktu yang terlewatkan, mereka semua hidup bahagia dan rukun karena mertuanya telah mendapatkan empat cucu yang di berikan oleh pasangan amy dan romi anak dan menantu tercintanya , meskipun cucunya dua laki-laki dan dua perempuan sekian.

Puisi Oleh: Ria Ristiana Dewi


SEISI BUMI
Karya: Ria Ristiana Dewi

Saat ini jika ada awan menangis
Dibuat terik yang menyambar menusuk seisi bumi
Seonggok kepalan tangan manusia mengiba
Telapak meninggi menghadap langit
Dua tiga kuntum bunga melayang-layang menebas sesal
Hingga lonceng dibunyikan

Saat ini jika ada asap mengepul angkasa
Mengepung seisi bumi
Manusia berteka-teki melawan derita
Mengadu ke sana sini mencari pancingan
Tuk merajut sesal tiada tara

Saat ini adalah saatnya manusia
Merunduk sesal menengadah kuasa
Tuk impian seisi bumi

Serambi KOMPAK, 20 Maret 2010




Minggu, 20 Desember 2009



“UNTAIAN MUTIARA YANG TERLEPAS”

Oleh: Wahyu Wiji Astuti

Sore itu, selepas shalat Ashar, Ayah memanggil Muti. Ada yang ingin disampaikannya kepada anak gadis kesayangannya itu. Sudah lama sekali ia ingin menyampaikan hal itu. Tapi Muti selalu saja menghindar ketika ia ingin membicarakannya. Istrinya yang sejak siang tadi pergi ke rumah anak pertamanya belum juga pulang. Muti datang membawa secangkir teh hangat, lalu duduk di depan Ayahnya. Wajahnya manis, airmukanya sendu. Tak berlama-lama Ayah membuka pembicaraan.

“Nak, kau tak bisa menunggu terlalu lama. Sejak kau tamat dari sekolah, Ayahmu ini sudah ditanyai soal kau. Maksud Ayah, ada yang ingin melamarmu. Tapi Ayah tak ingin menjodohkan kau dengan orang yang bukan pilihanmu sendiri, lagipula ketika itu kau masih terlalu muda, Ayah juga ingin kau menjadi seorang sarjana baru menikah.” Ayah memadamkan sisa api rokok yang baru terbakar separuhnya. Lalu dia melanjutkan ucapannya sementara Muti, anak gadisnya hanya tertunduk mendengarkan kata-kata Ayahnya. Sudah biasa Ayah menasehatinya perihal pendamping hidup, ia hanya mendengarkan dengan patuh. Lalu Ayah melanjutkan ucapannya.

“Ayah senang jika kau telah menemukan pria pilihanmu sendiri. Tapi setiap kali Ayah membicarakan pernikahan, kau selalu menundanya dengan mengatakan ingin membahagiakan Ibu dan Ayahmu. Asalkan kau tahu, anakku, Ayah dan Ibumu sekarang bahagia sekali karena kau sudah lulus jadi sarjana, dan cita-citamu menjadi seorang pendidik pun sudah tercapai. Bukankah begitu, Muti?”

“Ya, Ayah…”

“Nah, kalau begitu bukankah sudah saatnya kau mewujudkan cita-cita Ayah pula, yang sejak dulu Ayah sampaikan kepadamu? Ketika selesai S1 kau meminta Ayah menunda cita-cita Ayah dengan menguliahkanmu S2, dan sebentar lagi kau wisuda. Lantas mengapa kau menundanya lagi?”

“Maafkan Muti, Ayah, tapi Muti ingin melanjutkan S3.”

“Muti, Ayah senang kau memiliki cita-cita yang tinggi, Ayah tidak pernah melarangmu melanjutkan sekolah. Tapi bukankah kuliah bisa kau jalani setelah menikah? Nak, Ayah tahu itu bukan satu-satunya alasanmu menolak pernikahan. Kau ingin menunggu Wisnu kan?” Ayah memandangi Mutiara seakan mencari kejujuran di bola mata anak gadisnya. Namun Muti semakin menunduk di bawah sorot tajam Ayah.

“Kau sudah menunggunya terlalu lama, apa yang membuatmu begitu menginginkannya menjadi suamimu? Ayah bukannya ingin memaksakan kehendak Ayah, tapi Ayah ingin kau mendapatkan yang terbaik. Jika saja yang kau tunggu itu adalah pria yang tepat, Ayah mungkin mengizinkanmu.”

“Wisnu yang terbaik buat Muti, Yah…. Dulu Ayah menyetujui hubungan kami, tapi kenapa sekarang Ayah….” Desahnya tanpa meneruskan kata.

“Memang dia berasal dari keluarga yang baik dan berada, tidak seperti kita yang hanya hidup sebatas cukup. Tapi Ayah tak suka, kuliahnya S1 saja tak selesai-selesai. Untuk menanggungjawabi dirinya sendiri saja dia tak bisa, bagaimana dia bisa menanggungjawabi orang lain? Kau itu anak perempuan Ayah satu-satunya. Kedua Abangmu telah menikah. Ayah tidak ingin kau salah pilih.”

“Muti mencintai Wisnu. Ayah tahu kan, kami sudah berpacaran sejak kelas 2 SMA hingga sekarang. Kami saling mencintai.”

“Tidak, nak. Ayah merasa dia tak benar-benar mencintaimu. Dia tak pernah datang ke rumah sakit menjengukmu ketika kau sakit waktu itu, padahal waktu itu kau sakit hingga hampir tiga minggu. Lalu mengapa dia tak pernah membahagiakanmu? Hanya masalah, masalah dan kesedihan yang dia limpahkan padamu. Orangtua mana yang rela menyerahkan anaknya pada lelaki seperti itu? Ayah ingin kau menikah dengan Rahmat, dia lebih pantas untukmu. Kau pertimbangkan kata-kata Ayah.”

“Tapi, Wisnu….”

“Bilang padanya, jika dia benar-benar mencintaimu, datanglah bersama orangtuanya sebelum kau wisuda. Jika tidak, Ayah akan menjodohkanmu dengan Rahmat.”

Ultimatum ayahnya terasa amat menyesakkan. Kali ini ia tahu ayah tak main-main, sebab telah lama ayah bersabar dengan semua penantian dan harapan yang tak jua bertepi.

***

Muti tengah termenung di dalam kamarnya ketika Ibu masuk dan sapaannya membuyarkan lamunannya sejenak.

“Belum tidur, nduk?”

“Belum, Bu.”

Suasana sejenak hening. Ibu mendekati Muti yang sedang duduk di meja belajarnya sembari memandangi foto wisuda sarjananya tempo hari. Dibelainya rambut anak gadisnya, lantas bertanya lagi.

“Kenapa? Dari tadi kamu memandangi foto itu, tapi wajahmu sedih. Ada apa?”

“Muti bingung, Bu”

“Bingung kenapa?”

“Tadi sore Ayah mengatakan langsung padaku akan menjodohkan aku dengan Rahmat jika keluarga Wisnu tidak datang sebelum aku wisuda. Ibu tahu kan, tak sampai dua bulan lagi aku wisuda S2. Bagaimana caranya aku mengatakan hal ini pada Wisnu? Tidak pantas rasanya jika aku meminta pada Wisnu untuk meminangku, aku tak bisa mengatakan hal itu padanya. Lagipula aku khawatir dia tak bisa melakukannya. Kenapa Ayah begitu tega memberikan ultimatum seperti itu padaku.”

“Muti, Ayahmu hanya menginginkan yang terbaik untukmu. Sudah terlalu lama ayah menunggu. Ia ingin sekali melihatmu menikah. Agar ada pria yang menjagamu, menanggungjawabimu. Akan sampai kapan kami bisa menjagamu, anakku. Kau tahu kini semakin senja usia orangtuamu. Tidakkah terbayangkan olehmu betapa kecewanya kami jika Tuhan menjemput sebelum kami menyaksikanmu hidup bahagia bersama pria yang halal bagimu?”

“Kenapa Ibu berkata seperti itu?”

“Ya, lagipula sudah pantas usiamu untuk menikah.”

“Tapi Bu, Wisnu tidak bisa menikah sebelum dia menamatkan S1 nya.”

“Itulah yang Ibu fikirkan. Kalian tamat sekolah bersama-sama, tapi dua tahun dia menyia-nyiakan masa kuliahnya. Kini jenjang pendidikan kalian menjadi tak setingkat. Apa kau tak pernah mempertimbangkan hal itu?”

“Bu, aku tidak peduli akan hal itu. Aku mencintainya bukan karena apa-apa, yang ku tahu aku mencintainya karena aku mencintainya. Dan aku akan menerima Wisnu apa adanya.”

“Nduk, begitu besar rasa cintamu padanya, tapi apa kau yakin Wisnu juga mencintaimu sebesar rasa cintamu padanya?”

“Ya, tentu saja, Bu. Aku tahu dia sangat mencintaiku.”

“Jika begitu, kau sudah tahu jawabannya.”

Muti terdiam sejenak, lalu tersungging senyum di bibirnya. Di tatapnya mata Ibu penuh kasih. Sesaat kemudian dipeluknya Ibunya itu.

“Terima kasih, Bu.”

Malam itu Muti tertidur pulas, sudah disusunnya kata-kata yang tepat untuk membicarakan masalah ini pada Wisnu. Sungguh ia pun sebenarnya tak sabar untuk berumah tangga, apalagi usianya yang sudah matang bagi seorang wanita untuk menikah. Namun ia masih harus bersabar menunggu kekasihnya itu siap secara lahir bathin, siap secara moril dan materiil untuk menjadi seorang suami yang bertanggung jawab.

***

“Bagaimana?”

“Hhh…”

“Kenapa? Mama dan Papa tidak setuju?”

“Bukan, kamu tahu kan, sejak dulu Mama dan Papaku sangat sayang padamu. Betapa mereka mendambakanmu menjadi pendampingku. Bahkan sudah lama mereka mempersiapkan biaya untuk lamaranmu, juga untuk biaya pernikahan kita.”

“Lalu?”

“Aku, masalahnya adalah aku. Aku masih belum mampu menjadi suami yang bertanggung jawab. Orangtuaku tidak mengizinkan aku menikah sebelum tamat kuliah dan memiliki pekerjaan tetap.”

“Tapi Ayah tak memaksa kita menikah, hanya saja Ayah menginginkan kamu beserta orangtuamu datang ke rumah sebelum wisuda S2 ku.”

“Sama saja, sayang! Itulah maksud ayahmu!”

“Jadi?”

“Hhhh…”

“Kenapa lagi?”

“Apa kamu mencintai pria yang dijodohkan ayahmu?”

“Tidak. Aku hanya mencintaimu! Tak ada yang lain!”

“Tidakkah kamu berfikir, dia lebih baik daripada aku. Dia pria dewasa, tampan, sudah mapan, juga berpendidikan tinggi. Sangat sepadan untukmu. Kamu tidak akan kekurangan apapun jika bersuamikan dia.”

“Sudahlah, jangan berkata lagi. Kau pasti mengerti benar perasaanku padamu. Semua itu sudah tidak bisa ditawar lagi!”

“Tapi ini soal kehidupan! Kebahagiaanmu!”

“Aku mencintaimu! Aku menginginkanmu yang menjadi suamiku. Itu saja!”

“Sayang, sebenarnya ada rasa rendah diri di dalam hatiku. Kamu sebentar lagi bergelar Magister, sementara aku belum lagi menjadi sarjana. Aku minder sebagai seorang lelaki.”

“Astaghfirullah…, sungguh aku tidak mempermasalahkan itu. Berjanjilah tidak akan berkata seperti itu lagi. Sekali lagi aku katakan, bahwa aku hanya menginginkanmu!”

“Baiklah, akan kucoba membicarakannya lagi dengan orangtuaku. Aku akan datang bersama orangtuaku memohon pada ayahmu untuk bersedia menungguku satu tahun lagi sampai aku meraih sarjanaku.”

“Kapan?”

“Minggu depan. Aku pasti datang.”

***

Sedari tadi Muti berjalan mondar-mandir dengan wajah gelisah. Sesekali memencet handphone dan menaruhnya di telinga, berulang kali. Kegelisahannya terlukis di lekuk wajah dan sorot matanya, walaupun telah dibubuhi bedak dan meke up. Dia tengah menunggu tamu penting, hari ini akan menjadi hari yang bersejarah baginya, kebahagiaan layaknya yang dirasakan setiap wanita ketika dipersunting oleh seorang pria. Entah sudah berapa kali ia memandang ke luar jendela kamarnya. Menunggu orang yang begitu dinantikannya itu. Ya, malam ini akan dilaksanakan akad nikahnya.

Berkali-kali diliriknya jam dinding, sudah jam setengah sembilan malam. Akad nikah akan berlangsung jam sembilan. Setengah jam lagi. Tapi sungguh bukan itu yang membuat jantungnya berdebar-debar malam ini, dan bukan itu pula yang dinantikannya. Tapi ia tengah menunggu kekasihnya yang akan menjemputnya malam ini lewat jendela.

Tas yang berisi beberapa helai pakaian dan keperluan seadanya pun menjadi saksi atas aksi yang telah direncanakannya ini. Dua minggu yang lalu sudah berlangsung upacara pelantikan wisudanya. Beberapa waktu lalu ayah telah menerima lamaran pria yang akan menikahinya. Muti tidak setuju, namun tak mampu berbuat apa-apa. Akhirnya ia menyusun rencana untuk pergi bersama kekasihnya sebelum akad nikah berlangsung. Pukul delapan malam ia berjanji akan datang menjemput lewat jendela. Ini sudah hampir pukul sembilan. Sebentar lagi akan datang mempelai pria beserta keluarganya. Kecemasannya memuncak, apalagi tak jua diberi kabar lewat telepon genggamnya.

“Tok, tok…”

Tak lama ketukan halus terdengar dari arah jendela kamarnya. Sekejap gundahnya tersaput senyum tipis. Diraihnya tas yang tak seberapa besar ukurannya. Dibukanya jendela dengan amat perlahan. Hari ini ia ingin kabur, pemberontakan besar-besaran yang kali pertama dilakukannya pada orangtuanya. Namun ia amat terkejut sebab yang didapatinya di jendela bukanlah Wisnu kekasihnya, tetapi temannya dengan membawa sepucuk surat yang katanya dititipkan Wisnu untuknya, lalu orang itu pergi begitu saja dan menghilang di kegelapan.

Dibukanya dengan penuh was-was, begitu singkat tulisan yang ada di sana,

Teruntuk Mutiaraku,

Maafkan aku karena tidak menepati janji kita. Aku sangat mencintaimu, maka aku harus mengambil keputusan demi kebahagiaanmu. Sejak hari dimana Ayahandamu menolak permohonanku, aku tak lagi punya asa, namun aku tak pula ingin membuatmu jadi anak durhaka. Menikahlah dengannya, aku tak akan mengganggu hidupmu lagi. Aku sungguh tak bermaksud melukai dan menyakiti hati siapapun, terlebih hatimu. Tapi jika aku membawamu pergi malam ini, akan lebih banyak hati yang terlukai. Percayalah bahwa kau pasti akan bahagia dengannya.

Pria yang selalu mencintaimu,

Wisnu Fahrezi

Mutiara meneteskan bulir-bulir kristal dari bola matanya, tak lagi terbendung kepedihan dan kekecewaan yang dirasakannya. Entahlah, tak ada kata yang mampu melukiskan keporakporandaan hati Mutiara. “Baiklah, jika kau tak ingin membawaku, maka aku akan pergi sendiri menjemput kebahagiaan yang tertunda.” bisiknya pada diri sendiri. Dilangkahkannya kaki ke arah jendela, namun terlambat, iring-iringan mobil keluarga mempelai pria telah hadir tepat di depan rumahnya, hingga keramaian mendesak sepi yang seharusnya melingkupi sekitar jendela kamarnya. Lalu pintu kamarnya diketuk.

Medan, September 2009

memenangkan sayembara cerpen HMJ BSI se-Sumatera Utara
termasuk salah satu cerpen terbaik dalam antologi cerpen "Cermin"

Minggu, 06 Desember 2009

cerpen: cinta mengucap syukur

Cinta Mengucap Syukur
14 September 2009

“Dalam butiran air mataku sungguh menjadi iba yang ingin ku bawa mengalir menuju kebahagiaan yang tertunda. Sulitnya aku untuk bisa percaya sekaligus … dengan dirimu.
Apa yang kau inginkan dariku? Yang kupunya hanyalah butiran perih dan duka. kau bisa bahagia tanpa ku saat ini. Teruskanlah!. Sesungguhnya kau tak butuh diriku. Dari pada bersamaku kau justru merundung pilu, lebih baik kau raih angan cita dan bahagiamu sayang!
Raihlah bahagiamu tanpa diriku. Aku rela seandainya aku ini hanyalah sampah yang kau perlukan untuk kau jual agar mendapat selembar dua lembar penghidupan. Aku rela. Asal jangan kau katakan bersamaku kau…merundung pilu…aku tak rela….
Biarlah kita hidup berdampingan namun penuh syukur daripada kita hidup bersama namun tak bersyukur…..
Yang ku ingin saat ini kebaha-giaan bagimu. Aku tak peduli menjadi-kan racun itu hanya untukku….kau tidak….kau tak perlu menungguku bangun atau meminum pula racun itu…….kau cukup pergi melihat indahnya mentari…..yang menyambutmu dengan senyuman……..biarlah aku bahagia bersama kerelaanku ini…..dan biarlah aku melihat orang lain bahagia asal tujuanku hanya satu….syurga bagimu dan bagiku.
Tak tau kau siapa. Yang ku tahu bahagiamu itu sungguh berarti bagiku. Tak tau apa yang kau perbuat?.....yang kutahu kau tersenyum saja………tak tau apa yang kau pikirkan….yang kutahu kau itu sungguh bermental baja……….tak tahu apa yang menjadi anganmu…….yang ku tahu aku tak ingin menjadikan bahagiaku diatas deritamu.
Aku tak akan menyalahkan waktu ini………..kukatakan saja tiap perkenalan itu memberi arti………….tak mau kusesali ……..akan aku syukuri walau hanya sejengkal.
Tak mungkin aku bisa mengungkap lagi apa-apa yang sudah aku lalui selama ini………..biarlah kita jalani………biarlah kita satukan pendapat……………aku tak ingin memaksa walau hatiku merintih minta untuk menjerit…..walaupun darahku mengucur minta untuk di semprotkan menyirami bunga-bunga yang gugur…………hanya ini yang kupunya……hanya ini saja.
Ku tak ingin menjadikan dirimu perhiasan………lebih dari itu…….kau sangat berharga………..apalah aku……….apalah dirimu………yang kutahu kita hanyalah hamba –Nya yang patut mengucap syukur atas pertemuan dua insan.

Hari itu pertemuanku denganmu. Hari itu aku terduduk bersandar dilapisi dinginnya bumi menembus pori-pori lantai permaisuri. Yang ku tahu matamu hanya tertuju pada setiap wanita yang lewat. Tak terkecuali aku. Ya…tentu saja, aku ini wanita yang menarik perhatianmu saat pikiranmu sedang gundah memikirkan ini dan itu. Aku tahu. Kau adalah segelintir orang itu… ku biarkan pikiran-pikiran liarku membujuk dirimu yang duduk diantara singgasana indahnya permaisuri. Ya…kau duduk di kursi, tapi aku di lantai. Tidak sopan memang. Seharusnya kau mempersilahkan wanita untuk duduk di tempat yang lebih terhormat itu. Tapi aku lebih tahu. Aku tahu kau mencoba mendapat sesuatu hari ini. Tidak hanya satu tapi dua bahkan tiga hal sekaligus.
Aku? Ya…aku juga menginginkan sesuatu hari ini. Sesuatu yang barangkali bisa membuatku merinding bahkan merintih minta dipermainkan cinta. Sekali lagi, sekali saja. Aku memang cerewet. Ha..ha…itulah kata ibuku. Ibu yang membuatku sampai pada hari pertemuan aku dan kau. Kau dan aku pastinya harus berterimakasih padanya dan padanya. Ibuku dan ibumu.
Perbedaan aku dan kau. Aku hanya ingin memberi sinyal namun kau yang menangkap sinyal itu. Untuk kau manfaatkan dan kau kembangkan. Aku hanya menunggu agar kau membayar atas semua sinyal yang sudah kau ambil dariku. Tidak. Tidak hari ini. Tapi nanti. Dikredit. Ha..ha..
Cinta itu akhirnya bersabda mengutus hati ini untuk disandarkan. Aku inginkan kerinduan darimu. Kau katakan itu. Aku inginkan kata sayang darimu dan kau katakan itu pula. Namun aku tak mendapat satu hal darimu, “cinta”. Kau tidak mencintaiku. Tidak memang. Yang kumau kau mencintai Tuhanmu, Tuhanku, Allah SWT.
Aku ingin masuk dalam permainanmu. Kubiarkan diriku bercampur dengan semua adonan yang kau sajikan. Aku sudah masuk ke dalam salah satunya. Aku menjadi bagian dari hidupmu, dan kau tentu saja menempatkan hatiku sekali lagi, mengingatkanku atas masa lalu. Biarlah. Aku memang ingin melanjutkan masa lalu itu. Aku penasaran. Aku ingin menyempurnakan rasa penasaranku yang tertunda dahulu. Aku sempat takut masuk ke dalam permainanmu, namun kuputuskan untuk meneruskannya. Biarlah semua berjalan seperti apa yang Allah inginkan.

***

Kau seorang yang membuat hidupku selama ini gundah mencari cinta, sekaligus menuntaskannya. Aku ingat! Duhulu aku dibuat pusing masalah cinta tapi kali ini aku dibuat pusing dengan masalah kasih sayang. Ya…aku hanya mengharapkan kasih sayang darimu karena cintaku sudah diputuskan hanya untuk Allah SWT. Allah yang tidak pernah meninggalkan aku dimana pun aku mendapat kabut kehidupan. Tapi kau, kau adalah insan yang akan meninggalkanku suatu saat nanti. Maka kuputuskan untuk merindukanmu, menyayangimu, dan menginginkanmu menjadi bagian hidupku tanpa berkata “love for you”.
“ berhembuslah engkau angin malam…bawa serta laguku…mengintari bumi ini hingga jauh…akulah seorang petualang yang mencari cinta sejati…sampai nanti aku akan tetap menanti…”
“Ups….sori….ribut”
“ Apaan sih ra..kalau kau hidupkan musik sampai pagi pun aku gak peduli…”
“ya…siapa yang suruh, yang kutahu kau akhir-akhir ini kau merindukannya terus. Tidak bosan apa? Tidak bosan? Dia tidak peduli denganmu…dia hanya menjadikanmu yang kedua”
“Tidak ada yang menyuruhmu berpendapat”
“oke, alangkah bodohnya adikku tercinta”
Siapa? Siapa kelak yang mengerti keputusan hatiku. Aku tidak peduli. Aku putuskan hanya Allah yang mengetahuinya. Hanya Ia yang ada saat gundahku menggebu-gebu. “hmmm….bila tiba waktuku, ku tak ingin seorang pun merayu, tidak juga kau”
“sepertinya begitulah keinginan hatiku”.
Di kamar berukuran pas dengan keinginanku ini aku habiskan untuk mencurahkannya di netbook. Apalah artinya semua yang kuungkapkan jika tak bisa aku abadikan. Ingin rasanya aku menjerit tapi sekali lagi akan kuputuskan untuk mendokumentasikannya. Dengar saja curhatku ini. Dia sekali lagi hadir dalam mimpiku. Namun ku biarkan saja dia hadir lalu pergi lagi. Ha..ha..

***
Biar kulajutkan. Saat itu aku inginkan dia didekatku. Kupaksa ia sejadi-jadinya. Mulai dari jurus boong-boongan sampai pada trik ngambek segala, tapi tak berhasil. Jadinya justru emosi yang menjadi-jadi. Huh… siapa yang mau ditelantarkan, lebih tepatnya kepeduliaannya sudah luntur di makan waktu saat ini. Pikiranku melayang membayangkan ia berjalan dengan wanita aduhai disana. Menertawakanku, membodohiku, ingin membuatku hampir gila. Ahh, bukankah kata-kata adalah doa. Tidak, tidak ingin kudoakan ia seperti itu. Akan aku doakan ia laki-laki terbaik. Ya…karena aku tak ingin mengenal pembohong untuk kedua kalinya.
Lantas apa alasan bagiku untuk mempercayai sepenuhnya orang yang baru saja aku kenal. Lagi-lagi aku beristighfar lalu berdoa “Ya Allah... berilah aku petunjuk seperti apa dia”. Sekian kali aku tak mampu menutupi kekhawatiranku ini. Lalu kuputuskan meminta pendapat beberapa sahabat. Allah berkata sebaik-baiknya manusia meminta nasehat kepada beberapa orang tidak hanya satu orang. Aku pun mendapat beberapa jawaban yang beragam. Bukannya tidak pusing. Akh..pusingnya. tapi aku coba saja untuk merangkum semuanya seperti yang dilakukan Jansen Sinamo dalam bukunya 8 Etos Kerja Profesional. Butuh banyak referensi baginya untuk bisa menyimpulkan 8 etos kerja dan butuh banyak waktu pula baginya. Aku pikirkan, Aku pikirkan, dan aku pikirkan lagi. Dengan cukup yakin aku punya jawabannya. Ya…aku jalani saja. Ha..ha.. apa pusingnya sih.
Piawainya hamba Allah yang satu ini dalam berpikir, pikirku dalam hati. Hari itu aku tak ingin ambil pusing lagi. Aku hidupkan lagu-lagu terbaik dari jajaran eropa hingga Asia dan tentunya Indonesia. Aku jadi ingat lagu Indonesia Raya dan aku jadi ingat lagu “Beraksi” yang dipopulerkan Grup Band Kotak, lalu aku ingat bukankah Indonesia berambisi sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Indahnya seindah anganku untuk menjadikan dia imamku. Sudah lama memang bahkan sejak kecil aku inginkan seorang imam. Imamku dahulunya ayahku namun, aku sudah dewasa, ia juga sudah pergi, yang kupunya hanya tangis. Ku doakan untuk diriku agar Allah memberi aku imam seperti ayahku itu. Ya…aku melihat itu pada dirinya. Tapi apalah yang sudah kupikirkan? Aku tak pantas berpikir begini karena aku harus berpikir untuk orang-orang terdekatku, ibu dan kakak. Merekalah. Seharusnya mereka. Dia masih menjadi bubur nasi belum nasi. Huh..
Bertuturlah cinta mengucap satu nama. Dia. Apa Dia? Ya Allah hambamu akan mensyukuri tiap-tiap yang kau pilih. Aku hanyalah manusia bodoh. Kau yang pintar memilihkan imam yang terbaik untukku. Kau lah Yang Maha Pintar.
Ku akan panjatkan padaMu Yang Maha Cinta. Garis tangan yang tergambar ini sebagai awal aku melihat petunjukmu. Hmm…..aku akan bersujud syukur seandainya memang dia. Itu semua masih lama.
“aku tak ingin membohongi diriku lagi dan juga tak ingin membohongi dirimu. Aku selalu memikirkanmu. Seandainya kau kirimkan malaikatmu disini aku tak akan lagi meneteskan air mata ini yang tiada berhenti mengiringi kisah di hatiku. Biar malaikat itu menjadi kawan hidupku dan tunjukkanlah jalan yang kau pilihkan untukku. Aku, di dunia ini, aku tak mau sendiri.”
***
“Apa pernah adek menuntut dari abang?”
“tidak”
“lalu jika abang fine kenapa takut?”
“kalau adek gak percaya sama abang lebih baik tidak usah kita jalani hubungan ini”
“Begitu”
Akh…gila dia. Dia sudah gila. Berkata tanpa berpikir. Inginnya aku memaklumi kata-katanya. Tapi aku gundah, goyah, rapuh, sulit sekali harus memikirkannya. Air mataku menetes. Tidak taukah dia. Berjuang aku berdoa yang terbaik untuknya. Tidak taukah? Dia pikir aku ini apa? Apa? Selintas aku takut. Takut. Hatiku sudah aku titipkan padanya. Tapi bagaimana jika ia buang percuma. Aku akan tercabik. Aku akan hancur. Saat seperti itulah aku mengingat Allah. Ya..masih ada Allah. Dia masih sayang padaku.
Demi menjaga keamanan hatiku, aku mencoba mengotak-atik buku, netbook, menyanyikan lagu, dan apa sajalah. Aku tak boleh mencintainya. Tidak boleh hati yang berharga ini kutitipkan padanya. Tidak. Aku tak perlu menangis karenanya. Tidak. Dia orang baru. Tak pantas aku tangisi. Seandainya aku jadikan dia saudara laki-lakiku aku akan tetap memilikinya. Kuketahui dari awal ia lebih berharga sehingga aku tak ingin jadikan dia hanya sebagai perhiasan belaka. Tidak. Siapapun dia, yang kutau candanya adalah candaku.
Untuk apa aku menyesali apa yang telah terjadi dalam hiduku ini? Aku inginkan bungkam sejenak. Berpikir lebih jernih. Apa dia punya masalah? Aku ingin menyelesaikannya jika diizinkan. Aku tak ingin ia menyalahkanku atas masalahnya. Aku tak ingin menjadi bebannya. Sepertinya diam adalah jalannya. Itulah kata Rasulullah SAW.
Aku diam saja. Aku biarkan waktu ini untuk ia berpikir dan untuknya berpikir. Namun aku sudah menemukan jawabnya. Syukur. Aku harus mensyukuri rasa ini. Aku harus menikmatinya. Cinta memang harus mengucap syukur.



(masuk buku antologi cerpen "cermin", HMJ BSI SUMUT)

logo KOMPAK

logo KOMPAK

Serambi KOMPAK

SEKILAS TENTANG KOMUNITAS PENULIS ANAK KAMPUS (KOMPAK) A. Sejarah Singkat Kelahiran KOMPAK Pada awalnya salah seorang aktivis lembaga kampus yaitu Dani Sukma Agus Setiawan (mahasiswa UNIMED) mempunyai gagasan untuk membentuk sebuah wadah intrakampus yang berkonsentrasi penuh pada ranah kepenulisan. Gagasan tersebut mendapat sambutan hangat dari Rudi Hartono Saragih (mahasiswa Universitas Negeri Medan), Sri Rizki Handayani dan Budianto (mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara). Karena wadah ini merupakan kumpulan dari beberapa kampus, maka keempat pemrakarsa sepakat memberikan nama KOMPAK (Komunitas Penulis Anak Kampus) pada wadah tersebut. Keempat pemrakarsa juga sepakat member nama pada tim mereka dengan sebutan Catur Karya. Kata “catur” berarti empat, sedangkan “karya” merupakan mencipta atau menghasilkan sesuatu. Jadi catur karya bermankna empat orang yang mencipta atau menghasilkan sesuatu. Catur karya bekerja sama dan sama-sama bekerja menyatukan gagasan-gagasan selektifitas. Setelah melalui musyawarah panjang berdasarkan pemikiran-pemikiran dari catur karya, maka Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) dideklarasikan atau resmi dibentuk pada tanggal 23 Desember 2008 bertepatan tanggal di gedung Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Kronologis Kelahiran KOMPAK Dilihat dari segi kronologis sejarah kelahiran KOMPAK, tidak terlepas dari tuntutan menumbuhkembangkan aspek keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Menumbuhkembangkan budaya menulis merupakan aspek yang seharusnya melekat dalam diri mahasiswa. Namun dilematisnya sering sekali budaya menulis hanya sebagai rutinitas memburu gelar akademik semata. Dengan kata lain wabah menulis yang menjangkiti paradigma berpikir seorang mahasiswa hanya demam S.Pd (sarjana Pendidikan) yang begitu kronis untuk diobati. Bukan bermaksud menaifkan gelar, tetapi alangkah baiknya jika gelar itu ditunjang dengan keterampilan menulis. Untuk mampu menulis mahasiswa harus sering menyimak informasi, membaca beberapa referensi dan bertukar fikiran dengan orang lain. Artinya dengan menulis seorang mahasiswa akan berpengetahuan luas dan wajib bagi mahasiswa untuk meningkatkan wawasannya. Oleh karena itulah catur karya termotivasi untuk membentuk wadah kepenulisan guna menumbuhkembangkan budaya menulis. Jadi sebagai mahasiswa kita harus mencatat sejarah. Karena, sejarah tidak akan pernah mencatat dirinya sendiri jika kita tidak pernah mencatatnya. B. Azas, Sifat, dan Tujuan Umum a. Azas Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) berasaskan Pancasila b. Sifat KOMPAK adalah organisasi kemahasiswaan yang bersifat independen, ilmiah serta professional yang berorientasi pada kemajuan, keahlian dan peningkatan potensi penulisan. c. Tujuan KOMPAK bertujuan untuk melahirkan profesionalitas dan karakter penulis yang handal, memiliki dedikasi yang tinggi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dari aspek kepenulisan serta untuk memasyarakatkan karya melalui media massa. C. Visi dan Misi KOMPAK a. Visi Pengembangan sastra Indonesia dalam pembangunan bangsa. b. Misi 1. Mempercepat silaturrahmi antar pelaku seni 2. Mengoptimalkan pola berpikir, berperilaku dan berbudaya sastra melalui pelatihan 3. Memaksimalkan pengiriman karya ke media massa secara lebih aktif 4. Mengaplikasikan karya dalam bentuk seni pertunjukan 5. Menerbitkan buku sastra D. Kepemimpinan dan Keanggotaan KOMPAK a. Kepemimpinan 1. Diangkat melalui forum permusyawaratan resmi untuk masa jabatan tertentu 2. Bersifat demokratis dan religious serta memiliki loyalitas dan dedikasi atas tugas dan tanggung jawab b. Keanggotaan 1. Terdiri dari mahasiswa yang memiliki visi dan misi yang sama dengan KOMPAK 2. Diatur dengan system administrasi tertentu 3. Masa aktif keanggotaan 2 tahun setelah selesai studi 4. Pelatihan dan pengembangan anggota merupakan sasaran dan prioritas utama aktivitas KOMPAK E. Pengambilan Keputusan 1. Keputusan hanya dapat dilakukan melalui musyawarah resmi 2. Keputusan yang menyangkut teknis operasional dan hal-hal yang insidentil dapat diambil oleh unsure pimpinan tertentu. F. Struktur Organisasi KOMPAK Struktur organisasi KOMPAK terdiri atas Penasehat, Pembina, Ketua Umum, wakil Ketua, Sekretaris Umum, Wakil Sekretaris, Bendahara dan beberapa Koordinator.